KATA
PENGANTAR
Ringkasan dari buku ini sebenarnya telah dikemukakan oleh
Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan. Saya banyak mengetengahkan ringkasan
dari Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan tersebut dengan tambahan beberapa
hal yang belum diungkapkan oleh Ghee dan Gomes dari masing-masing makalah yang
terdapat pada bab-bab di dalam buku ini.
RINGKASAN
BUKU
Buku ini
merupakan kumpulan makalah-makalah hasil lokakarya yang diadakan pada bulan Mei
tahun 1987 di Malaysia. Lokakarya ini mengangkat topik Perdamaian dan Transformasi
Global. Berkaitan dengan topik utama lokakarya, ada enam hal yang diangkat dan
dikaji karena memiliki konsekuensi-konsekuensi lokal, regional dan
internasional, yaitu (1) krisis ekonomi, (2) proses militerisasi, (3) krisis
negara, (4) penyangkalan terhadap hak-hak asasi manusia dan indentitas kultural
serta (6) konflik atas sumberdaya-sumberdaya alam serta masalah teknologi yang
lolos dari kendali. Keenam hal tersebut dinilai merupakan bahaya yang lebih
besar bagi kelangsungan komunitas asli yang kecil dan rentan dibandingkan bagi
komunitas-komunitas bukan asli yang dominan,lebih besar, terorganisasi dengan
baik dan kuat serta terintegrasi dalam sistem dunia modern. Ditambahkan bahwa
identifikasi, penggambaran serta penganalisaan langkah-langkah koreksi yang
diambil oleh negara untuk menghadapi gerakan-gerakan rakyat untuk perdamaian,
demokrasi partisipatoris dan pelestarian lingkungan yang berkaitan dengan hak
atas kelangsungan hidup dari budaya-budaya serta suku-suku asli yang terancam
juga dianggap penting. Selain itu
kesediaan budaya-budaya serta peradaban dunia yang dominan agar mempertahankan
hak-hak sosial-kultural dari budaya-budaya minoritas perlu ditengok dengan
menganalisa keadaan yang menimpa suku-suku asli dibahas secara nasional, regional
dan global.
Dalam bagian pendahuluan, diketengahkan bahwa
masalah-masalah utama kaum minoritas asli adalah (1) pemindahan, (2) pemiskinan
budaya dan sosial serta (3) desintegrasi yang merupakan akibat
tuntutan-tuntutan dunia luar akan energi, mineral, lahan pertanian serta
sumberdaya-sumbedaya alam yang lain dan diperburuk dengan sistem-sitem negara
yang membenarkan intervensi dunia luar dengan alasan “pemodernisasian” atau
“pemajuan” kaum minoritas suku asli. Dengan kata lain, dalam lokakarya ini, studi-studi
kasus mengenai cara-cara kekuatan ekonomi dan luat serta intervensi negara yang
menimpa kaum minoritas suku asli di Malaysia, Indonesia, Filipina dan Pasifik
dikaji dibarengi dengan melihat respon-respon suku-suku asli terhadap gangguan
atas kehidupan mereka.
FILIPINA
Kajian mengenai keadaan di Filipina diketengahkan oleh
Regpala dan Dorall. Fokus tulisan-tulisan kedua orang tersebut berfokus pada
perkembangan organisasi-organisasi suku asli serta gerakan-gerakan yang
dibentuk terutama untuk menjamin kelangsungan hidup kebudayaan dan mengamankan
otonomi politik serta keswasembadaan ekonomi mereka terutama tentang komunitas
Cordillera di Luzon Utara dan Luzon Tengah.
Perlawanan
di Cordillera: Respons Bersejarah Orang Asli Filipina terhadap Invasi dan
Perubahan yang Dipaksakan dari Luar
Ma.
Elena R. Regpala
Regpala dalam makalahnya membahas sejarah perlawanan
komunitas Cordillera di dataran tinggi terhadap kolonialisme Spanyol dan
Amerika. Diceritakan pata tahun 1571 pada saat Spanyol memasuki daerah
Cordillera untuk berburu emas. Mereka membantai, menjarah dan menghancurkan
desa-desa suku asli serta memberlakukan control administrative dan religius
yang oleh Regpala kemudian disebut dengan gerakan politik “tuhan, emas dan
kemuliaan”. Rakyat Cordillera di dataran tinggi tersebut melakukan perlawanan
dan mendapatkan otonomi sosial-politik dibandingkan dengan rakyat Cordillera di
dataran rendah yang tidak melakukan perlawanan sehingga tidak mendapatkan
otonomi sosial-politik.
Disebutkan bahwa pada tahun 1896-1901, masyarakat dataran
rendah dan tinggi bersatu menggulingkan rezim Spanyol yang kemudian digantikan
kolonialisme Amerika Serikat. Dalam menghadapi masyarakat Cordillera ini,
Amerika Serikat menerapkan kebijakan pasifikasi dan integrasi “orang-orang
liar” ke dalam struktur politik kolonial. Langkah-langkah yang diambil oleh
Amerika Serikat untuk menundukkan masyarakat Cordillera adalah dengan:
(1) Menerapkan
sistem produksi baru
(2) Pembangunan
jaringan jalan
(3) Kristenisasi
(4) Pendidikan
(5) Pembentukan
pemerintahan sipil
(6) Mendirikan
Biro Suku-suku Non Kristen
Biro
ini kemudian melakukan riset secara antropologis yang hasilnya dimanfaatkan
dengan mengeluarkan undang-undang untuk melindungi kepentingan mereka atau yang
pada halaman 195 disebut dengan ‘Manipulasi Budaya’. Undang-undang tersebut
terutama adalah undang-undang atas hak-hak tanah dan undang-undang penambangan.
Sistem
kapitalis Amerika Serikat tersebut kemudian mengakar kuat di masyarakat
Cordillera hingga masa rezim Marcos. Perusahaan-perusahaan kapitalis tersebut,
terutama dalam hal penambangan, perkayuan, perkebunan agrikultur, pembangunan
bendungan Ambuklai dan Binga HEP kemudian membawa dampak kepada masyarakat
dalam hal pengusiran mereka dari tanah adat dan eksploitasi tenaga kerja.
Namun, masyarakat Cordillera tidak begitu saja menerima keadaan ini. Protes
dilakukan oleh rakyat dengan melakukan pemberontakan bersenjata oleh New Peoples Army demi mempertahankan
otonomi sosial-politik dan penentuan nasib mereka sendiri.
Invasi
Amerika Serikat ini diselingi dengan masa pendudukan Jepang di Filipina yang
semakin menguatkan landasan bagi perlawanan gerilya anti-Jepang di Cordillera.
Dialektika
Pembangunan: Respons Orang Asli terhadap Modal Pembangunan di Cordillera
Tengah, Luzon Utara, Filipina
Richard F. Dorall
Makalah
Dorall lebih merupakan studi kasus dalam dialektika pembangunan. Yang dimaksud
dengan dialektika adalah seperti apa yang diungkapkan oleh Goulet dimana
pemikiran dialektik adalah suatu cara pendekatan yang dibutuhkan bagi realitas
dialektik, karena pengalaman manusia mengenai dunia tidak bebas, kendati ia
memiliki aspirasi terhadap kebebasan yang mencakup penolakan terhadap suatu
model perubahan yang seimbang berdasarkan homeostatis atau gerakan satu arah. Pemikiran
Goulet ini didasarkan pada pemikiran bahwa proses pembangunan secara tak
terelakkan melahirkan konflik-konflik yang mendalam dan konsekuensi-konsekuensi
ini tak terramalkan (2003: 60-61). Dorall mendokumentasikan secara sosiologi
dan kronologis proses aksi, reaksi dan interaksi kompleks yang terjadi antara
orang Tinggian, yang merupakan penduduk Cordillera, dengan kekuatan-kekuatan
kapitalis perusahaan swasta bernilai jutaan peso dan berlindung pada rezim
Marcos. Fokus Richard Dorral adalah masyarakat Cordillera di Provinsi Abra,
Luzon Tengah yang juga merupakan daerah dataran tinggi. Dituliskan bahwa pada
periode tahun 1972 dan tahun 1981, Abra merupakan provinsi termiskin ke-empat
berdasarkan pada indeks per kapita. Pada
periode tersebut juga diadakan evaluasi atas dampak proyek pembangunan
pemerintah. Orang Tinggian merupakan suku asi di Abra dimana (1) sistem
kepercayaan mereka animistic dan (2) memiliki pakta-pakta perdamaian yang
disebut kalon atau budong yang mengatur keharmonisan
hubungan antarsuku asli.
Langkah-langkah pemerintah yang dilakukan di daerah ini
adalah kurang apresiatif terhadap jaringan hubungan yang telah mereka miliki
dan dipaksakannya struktur administrative baru pada jaringan sehingga merusak
pakta yang telah ada. Dikatakan oleh Ghee dan Gomes bahwa kajian Dorall ini
lebih melihat pada perubahan di suku-suku asli Cordillera dalam kerangka studi
pembangunan. Kajian dimulai dengan diketengahkannya proyek jutaan dolar di
provinsi Abra pada awal 1970-an menyusul dikeluarkannya undang-undang darurat
perang. Dua
perusahaan besar muncul yaitu Cellophil Resources Corporation yang kemudian
diikuti dengan Cellophil Processing Corporation. Kedua perusahaan ini diberi area lahan sebesar 198.785
hektar untuk kayu pinus dan melanggar lahan adat. Pemerintah menerapkan
prosedur-prosedur yang sewenang-wenang dan mengeluarkan ancaman-ancaman
terhadap oposisi lokal dan dipandang bahwa ada ketidakrelevansian proyek
terhadap populasi suku asli lokal. Pada saat CRC runtuh, militerisasi meningkat
dan Tentara Rakyat Baru yang komunis terbatasi kegiatannya karena kendala
lingkungan.
Proyek Cellophil ini juga mengundang minat banyak pendatang.
Pertemuan tribunal Rakyat diadakan dalam rangka upaya damai dengan cara dialog,
seminar hingga intervensi gereja. Namun emosi semakin meningkat ketika
Cellophil menolak mentah-mentah tuntutan awal orang Tinggian dan bahkan menuduh
para pastor Catholic Divine Wolrd
Missionaires (SVD) berdiri di pihak orang Tinggian yang menjadi umat mereka
sebagai subversif dan anti-pemenrintah. Oleh sebab itu reaksi-reaksi yang
ditampilkan oleh masyarakat adalah anti-pemerintah dan militan dan tindakan
Cellophil tersebut dinilai orang Tinggian, yang sangat bergantung pada para
pastor, bejat secara moral. Pada saat itu juga dibarengi dengan meningkatnya
kasus kebakaran di area-area konsensi Cellophil. Dorall menyimpulkan bahwa
pembangunan dengan menggunakan paradigma teknokratis yang kuat dari para
birokrat ditambah dengan informasi yang salah tidak akan berjalan dengan baik.
Paradigma teknokratis Filipina pada tahun 1965-1986 di bawah kepemimpinan
Ferdinand E Marcos, menurut Dorall, mempersepsikan pembangunan sebagai proses
garis-lurus yang sederhana. Ditambahkan oleh Dorral bahwa kesalahan utama
proyek-proyek di daerah ini adalah dengan tidak diikutsertakannya rakyat dalam
perencanaan.
INDONESIA
Orang
Badui di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap
Pembangunan
Judistira
Garna
Kajian dari Indonesia diketengahkan oleh Judistira yang
berfokus pada suku Badui. Dalam ulasannya Judistira mengetengahkan sejarah,
kebudayaan material, agama dan kosmologi, sistem politik serta perubahan sosial
yang terjadi pada suku asli ini. Dituliskan oleh Judistira bahwa suku Badui
merupakan bagian dari kelompok etnis Sunda yang dinilai oleh Judistira sangat
setia terhadap tradisinya berdasarkan tulisan Jul Jacobs dan bahasa Sunda yang
mereka gunakan masih murni layaknya bahasa Sunda pada empat abad sebelum tahun
1928. Judistira, seperti pada judulnya, mengawali studi kasusnya dengan
mengetengahkan upaya adaptasi Orang Badui dengan lingkungannya. Upaya pertama
yang terdokumentasikan adalah pada akhir abad ke-16 pada saat Kerajaan
Pajajaran dikalahkan oleh Kerajaan Islam Banten yang menyebabkan kabuyutan (tempat-tempat suci yang
berupa batu-batu dari tradisi megalitikum) tidak lagi dipakai kecuali komunitas
Badui yang bebas dari serangan Islam dan hal ini tidak dianggap membahayakan
Kerajaan Islam Banten. Di abad ke-17, Sultan hasanuddin mempersempit lahan
komunitas Badui yang dikelilingi oleh kampung-kampung orang Muslim. Pada masa
pemerintahan Belanda, suku Badui menugaskan jago
warega sebagai penghubung dengan dunia luar. Keberadaan jago warega ini tidak menganggu struktur
sosial Badui yang berlaku. Orang Badui, dituliskan oleh Judistira, memiliki
nilai bahwa rumah, ladang, mebel dan pakaian merupakan milik individu sedangkan
saung lesung dan balai kampung merupakan milik bersama.
Selain apa yang dinilai sebagai milik pribadi, Judistira
juga mengetengahkan kosmologi dan sistem kepemimpinan orang Badui. Menurut oran
Badui, para penghuni bumi ini diciptakan oleh para Batara dan religi yang
mereka pahami adalah hubungan antara cara berpikir dan perilaku. Pada halaman
153 dituliskan bahwa kehidupan bagi orang Badui berpusat sekitar pikukuh. Semua orang dilahirkan untuk
menjadi pertapa, memenuhi kewajibannya dengan sungguh-sungguh sesuai dengan
kedudukannya, menjalani hidup yang sederhana dan tidak membebani siapa pun. Kepala
pemerintahan orang Badui adalah Puun
yang berkewajiban untuk memelihara Sasaka
Pusaka Buana dan Sasaka Domas,
membimbing dan menyuluhi komunitas, menjadi pertapa dan menyelenggarakan
upacara kawalu. Jaro Warga (kepala kelompok) bertugas untuk berhubungan dengan
orang luar atas nama Kanekes.
Pada perubahan sosial, dibedakan antara perubahan alamiah
yaitu ketika orang Badui menyesuaikan diri untuk membela diri dan meningkatkan
kesejahteraan mereka dan perubahan-perubahan yang dipaksakan kepada mereka oleh
pemerintah. Suku Badui dinilai harus berhadapan dengan budaya-budaya yang
dominan secara politik dan demografis di sekitarnya yang berusaha menaklukkan
kaum minoritas. Pada abad 18 dijelaskan bahwa suku Badui dilokalisasi ke dalam
daerah yang kecil oleh Kerajaan Islam yang kemudian juga dilakukan pada masa
pemerintahan Belanda. Pertumbuhan penduduk pada suku ini menyebabkan
penyempitan lahan untuk masing-masing orang sehingga mengakibatkan pemiskinan.
Judistira, sebagaimana diungkapkan oleh Ghee dan Gomes,
beranggapan bahwa asumsi pemerintah dalam mengadakan proyek untuk orang Badui
dinilai menyesatkan dimana pemerintah beranggapan bahwa suku Badui
“terbelakang” sehingga perlu “dimajukan”. Proyek pemerintah yang dilaksanakan
untuk suku Badui ini adalah dibangunnya rumah percontohan dan didorongnya suku
ini untuk menanam tanaman komoditas yang kemudian membuat masyarakat suku ini
bergantung pada perekonomian pasar.
MALAYSIA
Ada empat makalah yang dimuat dalam buku ini berkaitan
dengan isu-isu tersebut di atas yang terjadi di Malaysia.
Hood
Hood meninjau bahwa dampak dari program-program dan
kebijakan-kebijakan pembangunan dan pemerintah Malaysia terhadap Orang Asli.
Hood mengetengahkan ada tiga isu utama yang mengganggu pembangunan, yaitu:
(1) Ketidaktepatan istilah Orang Asli sebagai sebuah kategori
hukum. Terdapat konotasi yang tidak menguntungkan, negatif serta tidak disukai
dari pendirian kultural. Konotasi-konotasi yang melekat pada Orang Asli adalah
bahwa mereka primitif, terbelakang dan tidak memiliki agama.
(2) Penyatuan
Orang Asli secara berangsur-angsur dan traumatis ke dalam sistem politik yang
lebih luas
(3) Hubungan
Orang Melayu-Orang Asli serta faktor-faktor sejarah, sosial dan ekonomi.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Orang Asli tidak suka dengan Orang Melayu karena
superioritas mereka tapi dalam beberapa hal meniru perilaku Orang Melayu.
Selain
mengetengahkan isu utama penghambat pembangunan, diketengahkan pula aspek lain
dalam menghambat perkembangan Orang Asli yaitu:
(1) Departemen
Urusan Orang Asli tidak membantu Orang Asli secara berarti
(2) Tengkulak
(3) Jalan
(4) Pengembangan
lahan sekitar pemukiman Orang Asli
(5) Penebangan
Kayu
(6) Pembangunan
dam-dam
(7) Etos
Melayu masa kini
Hood
menutup makalahnya dengan pertanyaan:
1. Bagaimana
Orang Asli menjadi orang-orang yang tersisihkan?
2. Bagaimana
proses penyatuan Orang Asli ke dalam sistem politik?
3. Apa
dampak undang-undang yang mengatur kedudukan mereka dalam masyarakat Malaysia?
Ketetapan Konstitusi dan Undang-Undang
yang Mengatur Orang Asli
S. Sothi Rachagan
Rachagan,
diketengahkan oleh Ghee dan Gomes, mengkaji masalah-masalah potensial dalam
ketetapan konstitusional dan undang-undang mengenai Orang Asli. Orang Asli yang
dimaksud oleh Rachagan di sini adalah orang-orang asli Semenanjung Malaya. Diketengahkan
oleh Ghee dan Gomes bahwa menurut Rachagan Orang Asli tidak menikmati
ketetapan-ketetapan mengenai hak istimewa, atau yang disebut oleh Rachagan
dalam makalahnya dengan istilah hak-hak khusus. dan proteksi khusus yang
didefinisikan dengan jelas dan bersifat mengikat seperti yang diberlakukan
untuk Orang Melayu dan pribumi Sarawak. Dalam makalah Rachagan ada poin
Pencadangan Tanah yang untuk Orang Asli tidak diatur dalam undang-undang dan
juga tidak adanya perwalian Orang Asli dalam Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan
Legislatif. Hal ini membawa dampak
dimana setiap perubahan pada definisi istilah Orang Asli dapat diberlakukan
tanpa suara mayoritas 2/3 di parlemen dan persetujuan yang relevan dari Yang
Di-Pertuan Agong.
Beberapa isu-isu lain yang diketengahkan adalah:
- Tidak
ada perwalian khusus Orang Asli di Dewan Rakyat atau Dewan Legislatif
- Orang
Asli tidak memiliki jaminan atas daerah dan daerah cadangan, lebih tepatnya
dikutp oleh Ghee dan Gomes dari makalah tulisan Rachagan sebagai berikut:
“Orang
Asli dapat diperintahkan untuk meninggalkan dan tetap berada di luar
daerah-daerah seperti ini, kecuali, bila mereka dapat menegaskan suatu klaim
atas pohon-pohon buah atau karet di daerah itu, maka menurut hukum tak berhak
atas kompensasi”.
Pada
halaman 169-174 diketengahkan secara detail poin-poin dimana Orang Asli
dirugikan yaitu:
1. Definisi
orang asli
2. Daerah
dan daerah cadangan orang asli
3. Hak menempati atas daerah dan daerah cadangan orang asli
dan hak kepemilikan tanah
4. Konpensasi
untuk hak-hak yang hilang
5. Mengeluarkan
orang-orang
6. Kebebasan
berserikat
7. Pengangkatan
kepala
Gomes dan Nicholas
Makalah
ke-tiga dan ke-empat ditulis oleh Gomes dan Nicholas yang mengkaji dampak
kapitalisme dan intervensi negara terhadap Orang Asli.
Konfrontasi
dan Kontinuitas: Produk Komoditi Sederhana di Kalangan Orang Asli
Alberto
G. Gomes
Dalam makalahnya Gomes berbicara mengenai Orang Asli dan
Kapitalisme. Gomes memandang bahwa Orang Asli memiliki nilai-nilai yang baik
dengan komoditas sederhananya yaitu dimana mereka relative makmur, sangat
independen dan cukup lentur. Ditambahkan oleh Gomes bahwa Orang Asli memiliki
pilihan-pilihan pada saat terjadi kegagalan produksi seperti (1)
mendiversifikasi produksi; (2) menintensifkan tenaga kerja; (3) mengurangi
pengeluaran; (4) meminjam atau menggadaikan hasil panen mereka; (5) menjual
milik mereka, terutama pohon-pohon buah, dan (6) menjual tenaga kerja mereka. Yang
dimaksud dengan komoditi sederhana oleh Gomes di sini adalah dimana Orang Asli
menghasilkan barang-barang untuk pasar namun juga memproduksi nilai pakai untuk
konsumsi langsung mereka (1993: 20).
Pada makalah ini, Gomes mengetengahkan perubahan pada komoditi
kalangan Orang Asli di Malaysia. Disebutkan oleh Gomes bahwa Orang Asli telah
mengubah komoditi sederhana mereka demi memelihara hubungan secara nasional dan
global. Hal tersebut dibandingkan dengan produksi komoditi kapitalis dimana
kontrol atas alat-alat produksi dikuasai.
Perubahan yang terjadi pada Orang Asli adalah sebagai
berikut:
- Pada awalnya Orang Asli memenuhi kebutuhan mereka dengan
berburu, foraging, menangkap ikan
serta ladang berpindah
-
Orang Asli kemudian diperbudak pada tahun 1900 dan
dipaksa bekerja untuk mendapatkan hasil hutan, meskipun kegiatan berburu, foraging, menangkap ikan dan ladang
berpindah tidak seluruhnya hilang. Setelah hilangnya perbudakan, jiwa
mendapatkan uang yang lebih ini kemudian mengubah Orang Asli untuk memenuhi
kebutuhan pasar-pasar Cina, India, TImur Tengah dan Eropa dari pengumpulan
hasil hutan, penanaman tanaman komoditi, dan penangkapan ikan. Selain pemenuhan
kebutuhan pasar di luar komunitas mereka demi mendapatkan uang lebih dan
kontan, Orang Asli juga kemudian memburuh untuk non Orang Asli.
Di lain pihak asumsi pemerintah yang menyatakan bahwa
Orang Asli mempunyai ikatan yang lemah dengan tanah dan tidak adanya pasar yang
pasti bagi produk-produk Orang Asli membawa dampak pada terbatasinya kebebasan
Orang Asli dalam bertindaj serta alienasi tanah bagi orang-orang luar. Gomes
berpendapat bahwa apa yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perekonomian
Orang Asli adalah adanya pengakuan yang realistik terhadap watak Orang Asli
oleh Pemerintah Malaysia.
Pada
kesimpulannya Gomes menyatakan bahwa produksi komoditi sederhana Orang Asli
telah berubah seiring dengan pengaruh kapitalisme dari luar dan juga kebijakan
dari pemerintah itu sendiri yang membatasi gerakan mereka dan mengubah mereka
menjadi kapitalis oleh karena akses kapitalisme yang dipermudah oleh pemerintah
agar menyentuh Orang Asl.
Demi Orang Semai? Negara dan Masyarakat
Semai di Semenanjung Malaysia
Colin Nicholas
Orang
Semai dipaparkan oleh Nicholas sebagian besar hidup di negara-negara bagian Pahang
dan Perak dan merupakan kelompok terbesar dari suku-suku Asli di Semenanjung
Malaysia. Pada catatan kaki halaman 109 dituliskan, “Orang Asli (secara harfiah ‘original people’) adalah orang-orang
pribumi Semenanjung Malaysia. TErdiri dari Sembilan belas kelompok suku yang
jelas berbeda, mereka berjulah 63.348 pada tahun 1983 (Jimin 1983:3-4, 26).
Populasi mereka kini diperkirakan sekitar 70.000”. Nicholas mengulas dampak
negara Malaysia dan kapitalisme terhadap Orang Semai dan berpendapat bahwa
organisasi pemerintah Malaysia terhadap Semai lebih menguntungkan negara dan
kapitalisme dimana pertimbangan-pertimbangan keamanan nasional lebih diutamakan.
Keamanan nasional ini berkaitan dengan adanya serbuan-serbuan komunitas dari
Muangthai yang kemudian dikeluarkanlah kebijakan untuk pemindahan Orang Asli
keluar dari kampung-kampung halaman mereka. Ditambahkan oleh Nicholas bahwa
dengan maksud ‘integrasi’ Departemen Urusan Orang Asli merumuskan
strategi-strategi pembangunan Orang Semai dan Orang Asli sebagai berikut
(halaman 115):
1.
Menyediakan
pelayanan masyarakat yang layak (kesehatan, pendidikan, perumahan dan
kesejahteraan umum), sehingga Orang Asli berpartisipasi secara efektif dalam
proses pembangunan sosial-ekonomi
2. Memperbaiki
standar hidup mereka melalui perbaikan dan modifikasi pertanian mereka
3. Meningkatkan
kapasitas dan tingkat pendapatan mereka dengan melibatkan mereka secara
langsung dengan ekonomi pasar.
Kebijakan
hidup menetap juga diterapkan dengan pemikiran bahwa gaya hidup Orang Asli yang
tampaknya nomaden menimbulkan masalah bagi pasukan keamanan dalam usaha mereka
untuk memelihara pengawasan terhadap aktifitas dan gerakan mereka.
Kebijakan
menetap dan integrasi oleh pemerintah pun dinilai menyebabkan hilangnya
otonomi, perekonomian alamiah dan akses tanah adat Orang Semai yang diuraikan
dalam tiga tema besar yaitu (1) reorganisasi ekonomi Semai, (2) pengaturan
produksi oleh modal dagang, dan (3) keruntuhan struktur tradisional. Mereka
ditempatkan pada daerah dengan sumberdaya yang jauh lebih sedikit dan memiliki
ketergantungan pada hubungan komoditi dan perekonomian pasar.
Nicholas,
seperti dituliskan oleh Ghee dan Gomes pada bagian pendahuluan, mengusulkan:
(1) Pembagunan yang endogen, needs-oriented, sehat secara ekologis
(2) Penekanan
pada swadaya dan tanggungjawab kolektif laki-laki dan perempuan
(3) Mengamankan
mata pencaharian Orang Semai
(4) Pembaharuan
kembali tradisi swadaya
(5) Mengurangi
ketergantungan Orang Semai pada struktur politik dominan
(6) Penyediaan
basis bagi pembangunan dari dalam
(7) Melancarkan
akses bagi kekuasaan masyarakat
RINGKASAN MASALAH-MASALAH DAN
USULAN-USULAN (PROPOSAL)
Pada
bagian akhir pendahuluan oleh Ghee dan Gomes diringkas masalah-masalah yang ada
serta usulan yang disampaikan.
Masalah-masalah:
(1) Respon-respon
suku asli terhadap pembangunan
(2) Dampak
kapitalisme terhadap suku asli
(3) Nilai-nilai
budaya suku asli dalam kaitannya dengan masalah pembangunan
(4) Perundang-undangan
dan hak-hak tanah suku asli
(5) Dampak
ideologi-ideologi dominan terhadap kaum minoritas suku asli
(6) Pertanan
kapital internasional
(7) Citra-citra
mengenai suku asli (orang primitive, terbelakang, naïf serta irasional)
Usulan-usulan
(1) Pemimpin
dan cendekiawan suku asli perlu menelaah kemungkinan untuk memanfaatkan sistem
pendidikan yang ada guna mengkomunikasikan dan menafsirkan kembali sejarah dan
kondisi-kondisi sosial suku asli
(2) Pelucutan
Departemen Urusan Orang Asli karena perencanaan mereka yang kurang baik,
manajemen dan sikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan serta aspirasi Orang Asli
dan digantikan dengan organisasi multi departemen
(3) Semua
komunitas asli di Asia Tenggara membutuhkan lebih banyak proteksi dan perhatian
khusus meski mereka minoritas
(4) Pertukaran
pengetahuan dan data menyangkut suku-suku asli melalui riset dan jaringan
informasi perlu digalakkan untuk mengorganisir dukungan untuk cendekiawan dan
suku-suku asli itu sendiri untuk masa depan yang lebih baik.
Sumber:
SUKU
ASLI DAN PEMBANGUNAN DI ASIA TENGGARA
Penyunting:
Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes
Kata
Pengantar: Parsudi Suparlan
Penerjemah:
A. Setiawan Abadi
Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 1993
Jumlah
halaman: 242
No comments:
Post a Comment