RINGKASAN SERTA PEMAHAMAN AKAN TULISAN
Berbicara mengenai gerakan
– gerakan masyarakat di daerah, Dove menyatakan bahwa dahulu gerakan – gerakan
tersebut mengedepankan isu ras, etnisitas dan agama. Pada saat ini, menurut
Dove, gerakan – gerakan masyarakat daerah tersebut telah menjadi gerakan untuk
memperjuangkan hak – hak masyarakat asli (indigeneous
people), yang kemudian akan saya sebut sebagai masyarakat suku. Terdapat kesimpangsiuran bahkan ketidaksepakatan atas
definisi indigenous people sehingga dalam tulisannya ini, Dove mengusulkan agar
memusatkan perhatian pada pemahaman atau artikulasi atas keaslian (indigeneity). Salah satu pemahaman atas
keaslian diungkapkan oleh Kuper dalam tulisan Dove ini dimana indigeneity lebih bermuatan politis
daripada tradisi. Sementara itu Gerard
Persoon dalam tulisannya berjudul Isolated
Groups or Indigenous Peoples – Indonesia and the International Discourse[1] menuliskan bahwa negara Republik Indonesia
mengacuhkan Tahun Masyarakat Asli PBB pada tahun 1993 dengan alasan bahwa
pemerintah Republik Indonesia hanya mengakui satu bangsa dan menganggap bahwa
seluruh bangsa Indonesia merupakan penduduk asli sementara untuk kelompok –
kelompok masyarakat yang “melenceng” dari kebudayaan pada umumnya di Indonesia
dianggap sebagai masyarakat terasing (isolated
community).
“They were
regarded as living isolated from the mainstream of Indonesian social and
cultural life …, no consideration was given to using the term Orang Asli
(‘original or indigenous people’), as is done in Malaysia, or ‘indigenous
tribes’ (inheemsche volksstammen), which was the term used in Dutch colonial
documents” (: 287)
Persoon
pun akhirnya mengusulkan agar menggunakan istilah masyarakat suku (tribal people) yang dinilainya lebih
netral serta dirasa cukup penting dimana pemahaman antropologis dari ‘tribe’ atau ‘tribal’ atau kesukuan mencakup bahasa, agama, kepemimpinan secara
politis dan juga kewenangan dalam bidang hukum. Karakteristik dari masyarakat
suku ini membawa identitas budayanya dalam berhadapan dengan kelompok etnis
yang lebih dominan di tingkat nasional.
Tulisan Dove ini pada dasarnya mengetengahkan teori –
teori serta kritik atas teori tersebut yang berkenaan dengan pemahaman atas indigenous people serta gerakan
penyelamatan lingkungan. Dove memulai dengan mengetengahkan bahwa selama ini
definisi dunia internasional atas indigenous
people berputar disekitar adanya keberlanjutan sejarah, kekhasan,
marjinalisasi, identitas akan diri, dan memiliki tata kelola atau tata
pemerintahan sendiri. Dove menilai bahwa keaslian, menurut ilmu Antropologi,
berkaitan erat dengan sejarah serta tempat. Ada dua risiko yang harus dicermati
apabila kita mengedepankan pentingnya tempat (place) dalam memahami indigeneity.
Risiko yang pertama adalah bahwa ada beberapa tempat dan situasi yang tidak
begitu diperhatikan dan yang kedua adalah bahwa ada beberapa tempat dan situasi
yang lebih diutamakan. Mengungkapkan sejarah identitas keaslian pun penuh
risiko. Apabila status keasliannya dinilai terlalu primitif maka ada
kemungkinan bahwa orang atau kelompok masyarakat tersebut akan mengalami
pemindahan tempat dan apabila mereka dinilai tidak terlalu primitif maka mereka
kemungkinan menghadapi risiko dipindahkan ke daerah lain melalui migrasi.
Dengan kata lain akan selalu ada risiko perlakuan yang tidak menyenangkan
secara politis terhadap kelompok masyarakat ini. Sementara itu ada tiga mitos
yang dilekatkan pada masyarakat suku yaitu (1) orang atau kelompok lain yang
tidak biasa (exotic other), (2)
pemalas yang menerobos masuk (intruding
wastrel), (3) masyarakat liar yang terhormat atau malaikat yang jatuh dari
khayangan.
Pemahaman emik atas keaslian (indigeneity) pun diusulkan oleh Dove. Menurut Dove, pemaknaan emik atas status
keaslian merupakan upaya untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka dan
bukannya identitas politik. Konsep dari keaslian tersebut, oleh Dove, dipandang
sebagai reaksi terhadap dampak delokalisasi dari dunia modern serta cara
pandang modern yang dianggap melucuti dan berdampak pada masyarakat daerah.
Yang kemudian dilakukan oleh masyarakat suku tersebut, dalam rangka menyerang
balik wacana pembangunan yang dominan, adalah menyatakan bahwa mereka memiliki
sistem pengetahuan yang unik yang dapat menjadi dasar dan membantu kesuksesan pembangunan.
Keunikan sistem pengetahuan ini pun masih dipertanyakan karena adanya keyakinan
bahwa pengetahuan masyarakat asli ini sudah lama bersentuhan dengan pengetahuan
dunia barat sejak, paling tidak, abad 15.
Pembahasan atas keaslian pun berpindah ke pembahasan
mengenai pengetahuan masyarakat suku. Dove menyebutkan bahwa pengetahuan
masyarakat suku berada di sekitar sumber daya alam dan lingkungan. Dove juga
mengetengahkan ini dalam tulisannya yang berjudul Living Rubber, Dead Land, and Persisting Systems in Borneo[2] dimana konsepsi masyarakat suku Kantu di Kalimantan Barat
atas penanaman pohon karet merupakan bagian dari beberapa kategori besar atas
metafor yang mneghubungkan alam dengan kebudayaan. Dove mengetengahkan adanya
perilaku yang disengaja dan tidak disengaja oleh para masyarakat suku dalam hal
konservasi alam. Perilaku yang disengaja diungkapkan Dove sebagai perilaku
orang modern dan perilaku yang tidak disengaja dikaitkan dengan perilaku orang
– orang pramodern. Dove dalam tulisannya berjudul Living Rubber, Dead Land, and Persisting
Systems in Borneo[3]
menyebut konservasi alam ini dengan apa yang disebut dengan keberlanjutan
secara ruang dan waktu (spatial and
temporal dimensions of sustainability). Sistem penanaman pohon karet
masyarakat suku Kantu di Kalimantan Barat terkait erat dengan kebutuhan daerah
setempat dan luar daerah, hambatan yang ada serta kesempatan yang terbuka dalam
artian bahwa sistem yang dijalankan berkaitan erat dengan masalah politik dan
ekonomi. Solusi yang tidak statis yang dijalankan masyarakat suku Kantu ini pun
menunjukkan bahwa sistem mereka tidak lah tradisional (tradisional dalam artian
tidak pernah berubah). Pembukaan lahan dan pembangunan dilaksanakan dengan
dalih untuk meningkatkan standards of
living. Shem Migot-Adholla dkk dalam tulisannya berjudul Indigenous Land Rights Systems in
Sub-Saharan Africa: A Constraint on Productivity?[4] Mengusulkan
bahwa intervensi pemerintah dalam hal ekonomi dan politik pedesaan sebaiknya
dilakukan apabila memang ada permintaan (genuine
demand) untuk dilakukannya perubahan.
Pembahasan akan sistem pengetahuan masyarakat suku yang
“lahir” dari sumber daya alam dan lingkungan sekitar, menurut saya, membuat
Dove muncul dengan pembahsan mengenai ecological
anthropology yang hanya bertahan pada era 1960an dan 1970an dan yang
kemudian muncul istilah environmental
anthropology yang diyakini berlandaskan pada teori Pos-struktural.
Bagian selanjutnya hingga akhir dari tulisan Dove ini
adalah dilontarkannya beberapa pertanyaan dan perhatian terkait dengan gerakan
– gerakan masyarakat suku seperti:
- Apabila gerakan masyarakat suku selama ini dianggap penuh dengan kekerasan, apa makna kekerasan bagi masyarakat suku itu sendiri?
- Apa tanggungjawab moral peneliti terhadap gerakan masyarakat suku tersebut? Atau dengan kata lain what do you stand for? Moral or Science? Dengan kata lain pertanyaan ini mengarahkan kita pada pilihan Science for Science? atau Science for People?
- Topografi yang tidak merata tidak memungkinkan peneliti untuk berada di posisi netral dan adanya bias ideologi di dalamnya
No comments:
Post a Comment