A. RINGKASAN SERTA PEMAHAMAN AKAN TULISAN
Dalam
tulisan ini, Yashar berpendapat bahwa gerakan – gerakan masyarakat adat (indigenous people) membentuk perbedatan
politik di tingkat nasional terutama yang berkaitan dengan demokrasi
multietnis, kesetaraan dalam bidang politik serta otonomi subnasional. Ada dua
hal yang menjadi landasan tulisan Yashar ini mengenai gerakan masyarakat adat.
Yang pertama adalah bahwa gerakan – gerakan tersebut secara politis menonjol
pada periode kontemporer serta yang kedua adalah bahwa di beberapa tempat
terdapat organisasi – organisasi politik yang dinilai cukup signifikan. Yashar
menawarkan penggunaan pendekatan historis dalam menganalisa gerakan – gerakan masyarakat
adat yang meliputi tiga hal, yaitu (1) pada rezim pergantian kewarganegaraan,
(2) jejaring sosial serta (3) ruang berserikat secara politik.
Yashar menempatkan perubahan makna kewarganegaraan dari
korporatisme menjadi neoliberal sebagai variabel utama. Penjelasan mengenai
korporatisme dan neoliberal akan dibahas di paragraf lain dari review ini. Setting kondisi terjadinya gerakan masyarakat adat di Peru ini
adalah (1) tingginya tingkat kemiskinan masyarakat adat Peru yang lebih tinggi
dari angka nasional serta bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat adat
Peru lebih rendah dari angka nasional. Berdasarkan hal tersebut, Yashar
berpendapat bahwa korelasi antara kemiskinan dan keaslian suatu etnis cukup
tinggi di seluruh Amerika Latin; dan (2) Peru mengalami lintasan politik yang
sama dengan daerah lainnya yang dimulai dengan periode masa kolonial.
Corporatist
Citizenship
pada Masa Kolonial (Rezim Kewarganegaraan Korporatis)
Kewarganegaraan dengan paham korporatisme (paham yang mengutamakan kebersamaan sebagai satu kesatuan sehingga semua unsur atau bagiannya harus tunduk pada peraturan yang telah ditetapkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia)) diterapkan oleh negara kolonial dimana negara kolonial memberlakukan kebijakan – kebijakan masyarakat adat (yang kemudian dianggap sebagai versi awal dari “korporatisme”). Paham korporatisme ini menempatkan pengaturan sebuah negara ke tangan kelompok – kelompok utama dengan kepentingannya masing – masing (yang terkadang disebut dengan korporasi) dan masing – masing wakil kelompok menyelesaikan masalah melalui negosiasi dan kesepakatan bersama yang dilakukan melalui tawar menawar secara kolektif (www.sjsu.edu/faculty/watins/corporatism.htm). Pada saat yang bersamaan negara kolonial dinilai telah menyubordinasikan masyarakat adat dan memberi mereka unsur penting dari otonomi rakyat. Dengan kata lain, pada rezim ini, masyarakat adat merupakan warga negara yang memiliki otonomi untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pada masa ini, mekanisme legal dan insitusional dibentuk
bagi masyarakat adat agar mereka mendapatkan pengakuan resmi, posisi yudisial,
dan dapat bertindak atas nama masyarakat adat. Apabila dilihat dari sisi
masyarakat adat, sistem kewarganegaraan korporatis memberi mereka akses kepada
negara. Sedangkan dari sisi negara, negara merasa telah memberikan peran
penting kepada masyarakat adat dalam memerintah serta mengatur daerah pedesaan.
Yashar juga menambahkan bahwa sesungguhnya dengan membentuk kelompok – kelompok
tersebut, selain membantu negara, memberikan batasan keterlibatan masyarakat
adat dalam partai politik.
“Keuntungan” dari diterapkannya hal tersebut adalah dikembalikannya hak atas
kepemilikan tanah meskipun dampak langsungnya tidak dapat dirasakan. Kepemilikan
lahan ini mengembalikan martabat serta rasa ke”Indian”an mereka karena mereka
memiliki kekuasaan penuh atas tanah dan tenaga kerja. Di Peru, dampak yang
signifikan atas penerapan tersebut menguntungkan banyak pemilik lahan dan pada
saat yang bersamaan menimbulkan ketegangan diantara masyarakat adat. Organisasi
SAIS atau Kelompok Pertanian Masyarakat atas nama Kepentingan Sosial hanya memberikan
keuntungan pada bekas pekerja para patrón (haciendas
– land owners) dan mereka ini hanya merupakan lingkaran kecil dari
masyarakat petani. Ketegangan yang terjadi di sini merupakan ketegangan
horizontal, dimana mereka yang tidak diuntungkan “membidik” petani lainnya.
Ketentuan setempat yang mengharuskan seseorang untuk membeli lahan di daerahnya
sendiri diprotes oleh mereka yang sebelumnya berdiam di daerah tersebut dan
telah bermigrasi. Perang sipil yang terjadi menuntut dikembalikannya cara –
cara pengaturan menurut masyarakat adat.
Dengan demikian intermediasi kepentingan tidak
dilaksanakan dengan baik serta kepemilikan lahan tidak dapat dijamin
keberlangsungannya.
Neoliberal Citizenship pada
Masa Poskolonial (Rezim Kewarganegaraan Neoliberal)
Paham
neoliberal, sebagaimana dituliskan oleh Tracy Smith-Carrier dan Rupaleem Bhuyan
dalam tulisan mereka berjudul Assessing
the Impact of Neoliberalism on Citizenship: The Stratification of Social Rights
by Immigration Status in Toronto, Ontario, memediasi hak – hak warga negara
dengan kepentingan global. Paham ini “ditularkan” melalui ekspansi ideologi
pasar dan melalui pengaruh – pengaruh yang di bawa oleh lembaga – lembaga
internasional. Namun demikian, menurut M. Shamsul Haque, dalam tulisannya berjudul
Global Rise of Neoliberal State and Its
Impact on Citizenship: Experiences in Developing Nations, neoliberalisme mengubah makna dan komposisi
dari kewarganegaraan dalam artian menggerus hak – hak atau “tunjangan” milik
warga negara yang disebabkan oleh agenda politik.
Yashar
menuliskan bahwa pada masa poskolonial ini kebijakan – kebijakan yang bersifat
liberal diterapkan oleh negara. Masyarkat adat dipandang sebagai individu –
individu yang setara dari bangsa Republik “Masyarakat Mestizo”. Pada masa ini, kebijakan ekonomi neoliberal diterapkan
dengan melakukan (1) penambahan hak – hak dalam bidang politik dan sosial; (2)
mengurangi bantuan sosial dan bantuan dalam bidang pertanian, pendidikan dan
kesehatan; (3) privatisasi perusahaan dan merombak usaha – usaha asosiatif; (4)
pembaruan peraturan kepemilikan lahan; (5) pengenaan pajak pada impor produk
pertanian; serta (6) menstrukturulang pasar lahan dan produk pertanian. Negara
dinilai melepaskan tanggungjawabnya dalam hal penyediaan infrastruktur dan investasi
sosial.
Pada masa ini (1) klaim – klaim otonomi daerah dan hak
istimewa masyarakat diambil dari mereka, (2) pasar jual beli lahan dirasa tidak
menguntungkan bagi petani miskin, serta (3) para tuan tanah mencoba mendapatkan
kembali kekuasaan mereka di daerah dimana mereka kehilangan tanah mereka. Keadaan ini dirasa memburuk pada tahun 1990an
dimana kemiskinan semakin parah dan pada tahun 1995 negara membatasi
kepemilikan lahan dan membalikkan tanah rakyat yang sebelumnya tidak dapat
diganggugugat. Kembali pada pernyataan semula bahwa kepemilikan lahan
mengembalikan martabat serta rasa ke”Indian”an mereka karena mereka memiliki
kekuasaan penuh atas tanah dan tenaga kerja, dengan hilangnya kepemilikan atas
lahan atau tanah, para petani pun mulai memprotes negara.
Peru, tidak seperti tempat lainnya, tidak melakukan
mobilisasi nasional, namun lebih melakukan debat – debat dan pengajuan
proposal. Dua hal yang menghambat terjadinya mobilisasi di Peru adalah jaringan
transkomunitas yang tidak bagus dan kurangnya ruang berserikat secara politik. Di
Amazon dan Andes bagian selatan, masyarakat adat memperjuangkan pengaturan
sesuai dengan ketentuan masyarakat adat serta menuntut otonomi teritorial dan
penentuan nasib sendiri. Mereka berjuang melawan bangsa kolonial.
Apa yang terjadi di Peru menunjukkan adanya variasi
bentuk gerakan masyarakat adat menurut daerahnya atau (regional variation). Ada tiga hal yang dapat dicermati dalam
melihat regional variation tersebut
yaitu (1) inti dari isu otonomi yang dihembuskan, (2) gereja dan LSM lah yang
membentuk jaringan serta (3) dialaminya ruang berserikat politik yang lebih
luas.
B.
KESIMPULAN
Esensi atas rasa kewarganegaraan yang berubah lah yang
melatarbelakangi gerakan
masyarakat adat di Amerika Latin. Masyarakat Indian,
merasa menjadi masyarakat Indian apabila
mereka memiliki kekuasaan atas lahan
dan juga atas para pekerjanya. Perubahan pada rasa
kewarganegaraan dari Indian
menjadi seorang warga bangsa tanpa memiliki kekuasaan atas
lahan dan nasib
mereka menyebabkan mereka kehilangan identitas (kewarganegaraan) mereka.
Hingga dapat dikatakan bahwa gerakan
masyarakat adat ini berjuang melawan negara demi
otonomi daerah.
No comments:
Post a Comment