Tema
yang ‘memayungi’ review tulisan ini adalah posisi elit. Breman menunjukkan
posisi elit yang ada di pedesaan di Jawa dengan mengetengahkan sistem pedesaan
di Asia. Mengambil dari tulisan Schrieke, Breman mengetengahkan bagaimana ada
dualisme sistem yaitu lingkungan kraton (kraton milieu) dan konglomerasi pedesaan dimana kepala desanya berfungsi
untuk menghubungkan para penduduknya (petani) dengan administrasi kerajaan. Dengan demikian, untuk sementara ini, posisi elit di
pedesaan di Jawa berperan sebagai jembatan di dalam desanya (intra village) dan antara desanya dengan
daerah di luar desanya (supra village)
dengan konsep populis di dalamnya. Masyarakat yang demikian merupakan
masyarakat desa pertanian yang hampir seluruhnya tertutup dengan sistem
penanaman padi, tradisi serta hukum yang kompleks yang berumur ratusan tahun
serta tergantung pada otoritas warga desa yang lebih tua dan dihormati oleh
semua orang. Kehidupan yang harmonis dan
saling tolong menolong ini berakhir pada masa kolonial. Mengingat bahwa desa
pada jaman kolonial kemudian berperan untuk melayani kekuasaan di atasnya
dengan menyediakan produk pertanian dan tenaga kerja, maka desa yang dianggap
sebagai unit kolektif tidak ada sebelum negara kolonial berkuasa, karena desa
dengan pemahaman demikian merupakan bentukan dari negara kolonial itu sendiri;
dan merupakan hasil dari lokalisasi dan horisontalisasi yang termanifestasi dengan
sendirinya pada abad 19.
Kembali kepada elit pedesaan yang berfungsi sebagai
“jembatan”, elit pedesaan ini disebut dengan priyayi. Priyayi ini tinggal di
desa tersebut bahkan merupakan keturunan bangsawan dimana koneksi langsung
dengan kraton dapat terwujud. Kedudukan
para priyayi ini dapat disebut sebagai elit karena mereka berada di posisi
tinggi. Di bawah para priyayi adalah cacah (para petani). Disini kekerabatan
mengambil peran penting dalam menghubungkan tuan tanah (dalam hal ini pihak
kraton) dengan daerah pedalaman. Selain kekerabatan, kepemilikan lahan juga
mempengaruhi ke’elit’an seseorang. Para pemilik lahan ini disebut dengan
istilah bumi atau sikep dan yang berada di bawah para sikep ini adalah para
‘numpang’ yang dapat menggarap tanah berdasarkan persetujuan sikep. Sikep merupakan
posisi elit diantara para cacah dan
mereka bertanggungjawab dalam menyetorkan upeti kepada petinggi. Sikep
bertanggungjawab dalam memberikan bantuan dan perlindungan kepada para numpang. Hubungan priyayi – cacah ini nampak juga pada hubungan sikep – numpang hingga hubungan yang
disebut dengan patrón – client dituliskan
dalam tulisan ini dapat ditemukan pada setiap tingkatan hubungan sosial.
Seperti juga pada hubungan jurugan –
panukang.
Namun demikian, menurut Breman, penstereotipan tipe
hubungan sosial yang demikian harus dipertanyakan terutama pada masa kolonial.
Hal itu berkenaan dengan kebijakan negara kolonial yang dianggap “menjebol”
tatanan yang sudah ada sehingga tulisan – tulisan mengenai pedesaan Jawa pada
masa kolonial sangat lah dipertanyakan dan dapat diperdebatkan. Hal tersebut
dapat ditemukan dalam tulisannya ini dimana Breman menyebutkan bahwa (1)
karakter introver dan terintegrasi yang statis dari masyarakat pedesaan tidak
terjadi selama masa kolonial akibat dari intervensi administratif, pembangunan
infrastruktur, perpanjangan ekonomi moneter, dan transisi ke arah produk pasar
yang sistematis; (2) para penghubung atau para “penjembatan” tidak berperan dan
bahkan sembunyi dari kekuasaan Belanda. Hal lain yang didebat oleh Breman
adalah bahwa hubungan yang timbal balik antar anggota warga karena pada
dasarnya masyarakat pedesaan di Jawa tidak sepenuhnya menganut hubungan timbal
balik. Breman memberikan contoh pada saat diadakannya bentuk kerjasama ada
banyak hal yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan kerjasama yaitu
pertanian, pertukaran sosial, ikatan agama dan pengalaman lainnya yang sama.
No comments:
Post a Comment