Dalam Etnosains, para
ahli antropologi mengambil linguistik sebagai model untuk antropologi. Di sini
saya akan mencoba mengetengahkan ;inguistik manakah yang diikuti dan mengapa
ahli antropologi memilih linguistiknya (pada saat yang bersamaan saya berusaha
menghubungkan dengan masalah yang muncul dalam studi perbandingan kebudayaan
Cross Cultural
Comparison atau Studi Perbandingan
Kebudayaan berusaha mencari dan
merumuskan teori tentang relasi gejala antar kebudayaan. Setelah teori
dirumuskan, para ahli antropologi kemudian membuat prediksi atau perkiraannya. Namun
Cross Cultural Comparison ini
memiliki permasalahan dalam keterbandingan etnografi, yaitu:
“Tiga masalah pokok yang
mereka temui adalah pertama, perbedaan minat ahli antropologi yang menyebabkan
perbedaan data yang dikumpulkan, kedua adalah perbedaan metode dan masalah yang
ketiga atau yang terakhir adalah ketidaksamaan pendapat diantara para
antropolog dalam menentukan kriteria pengklasifikasian. Kemudian disepakatilah
bahwa kelemahan para antropolog adalah pada cara pelukisan kebudayaan.” (Tugas review Etnosains dan Etnometodologi – Sebuah
Perbandingan oleh Ahimsa-Putra ditulis oleh Diyah Perwitosari, 2009: 1-2).
Sehingga muncul pemikiran untuk mencari metode deskripsi agar etnografi
sebanding. Ahli antropolog kemudian melirik linguistik dimana para ahlinya
ketika mendeskripsikan bahasa adalah mendeskripsikan aturan – aturan
bertatabahasa khususnya berbahasa. Model linguistik yang diambil oleh ahli
antropologi adalah descriptive phonology
atau cabang ilmu bahasa yang membicarakan pendeskripsian fonem atau
mendeskripsikan cara pengucapan atau dengan kata lain mendeskripsikan cara
menghasilkan bunyi bahasa.
Hal ini kemudian mempengaruhi ahli antropologi dalam
mendefinisikan kebudayaan dimana
kemudian kebudayaan didefinisikan sebagai cara – cara berperilaku.yang dapat
dilihat dengan jelas dari definisi kebudayaan menurut Goodenough:
“culture is not
a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior or
emotions. It is rather the organizations of these things. It is the forms of
things that people have in mind, their models for perceiving, relating and
otherwise interpreting them as such. The things that people say and do, their
social arrangement and events are products or by products of their culture as
they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances …”
(Goodenough, 1964a: 36) – diambil dari
tulisan Ahimsa-Putra yang berjudul Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah
Perbandingan, 1985: 107).
Definisi Goodenough mengenai
kebudayaan, menurut yang saya tangkap dengan keterbatasan pemahaman saya,
adalah pengorganisasian masyarakat, tingkah laku, emosi-emosi dan hal-hal lain. Apa yang
mereka lakukan, katakan, tata cara hubungan sosial dan pelaksanaan even-even
merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan
situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem
pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi,
aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain.
Cara
– cara berperilaku itu sendiri, menurut Ahimsa-Putra, ada dalam pikiran yang
terwujud dalam bahasa sehingga dengan kata lain Etnosains melandaskan pada
basis filsafat yang memandang kebudayan adalah berupa pengetahuan kolektif dari
proses belajar dan Etnosains adalah studi sistem pengetahuan suku bangsa.
Di sini saya akan coba
juga ketengahkan perbedaan yang sangat penting antara Fungsionalisme dan
Etnosains pada aspek model dan etnografi
|
Fungsionalisme
|
Etnosains
|
Model
|
Kebudayaan
dianalogikan seperti organisme yang memiliki fungsi
|
Kebudayaan
adalah sistem pengetahuan
|
Etnografi
|
Berisi
tentang deskripsi perilaku
|
- Berisi klasifikasi – klasifikasi lewat bahasa lokal
atau istilah – istilah lokal dan kategori – kategori lokal
- Aturan – aturan berdasarkan kategori – kategori
tersebut
- Hasil akhir sebuah penelitian
yang menggunakan metode etnosains adalah pelukisan sistem pengetahuan yang
ada pada warga masyarakat atu kelompok masyarakat tertentu, dan bukan pola
dari tingkah laku mereka.
|
No comments:
Post a Comment