LATAR BELAKANG PEMIKIRAN DALAM PEMILIHAN BUKU
Landasan
pemilihan buku ini adalah dengan kembali pada pengertian akan kebudayaan dan
politik itu sendiri. Beberapa pengertian akan kebudayaan telah diungkapkan oleh
beberapa ahli. Koentjaraningrat menyatakan paling sedikit ada 160 buah definisi
akan kebudayaan (2000: 181). Di sini saya akan mengetengahkan definisi
kebudayaan dari dua antropolog Indonesia. Dalam mendefinisikan kebudayaan
Koentjaraningrat menuliskan, “Menurut
ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah: keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar” (2000: 180). Definisi
kebudayaan yang lain ada dalam makalah dialog budaya yang berjudulkan Peran dan
Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia yang ditulis oleh Heddy Shri
Ahimsa-Putra, Desember 2007. Kebudayaan menurut Ahimsa-Putra adalah “keseluruhan tanda dan simbol yang digunakan
oleh manusia untuk mempertahankan keberadaannya sebagai mahluk hidup, yang
diperolehnya lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai warga suatu
masyarakat atau komunitas” (2007: 3).
Politik
diartikan dalam kamus Sosiologi Antropologi oleh Al-Barry sebagai: (1) ilmu
atau pengetahuan tentang ketata-negaraan dan (2) suatu cara atau usaha untuk
meraih dan mempertahankan kekuasaan. Uraian Kodiran akan arti Politik dalam
perkuliahan Kebudayaan dan Perubahan Politik, yang merupakan salah satu mata
kuliah di Jurusan Pasca Sarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM adalah
sebagai berikut:
(1)
Politik terdiri dari tingkah laku manusia yang berpusat
pada institusi – institusi dan praktek – praktek pemerintahan yang dijelaskan
lebih lanjut dimana poliitik erat dengan power
atau kekuasaan
(2)
Politik sebagai proses dimana masyarakat menangani
masalah – masalah yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan yang diinginkan
(3)
Politik sebagai interaksi antar manusia dengan
mempergunakan atau mengancam akan memakai kekuasaan (power) dan otoritas
(4)
Politik adalah suatu proses dimana sumber – sumber daya
manusia, material dan spiritual yang terbatas dialokasikan di dalam suatu unit
sosial (suatu daerah, negara bagian, negara serta organisasi) untuk memenuhi
kebutuhan – kebutuhan dan keinginan – keinginan manusia
(5) Unsur politik – kekuasaan (power) dari pengaruh (influence), pembuatan keputusan (decision making).
Pada
kelas yang sama pada waktu yang berbeda Kodiran merepresentasikan Politik
sebagai berikut:
(1) Proses – proses keterlibatan dalam
menentukan dan melaksanakan tujuan yang ingin dicapai oleh umum
(2)
Persaingan kekuasaan dan cara – cara untuk mencapai dan
menggunakan kekuasaan
Dari uraian
menurut kamus dan Kodiran ada satu kesamaan yaitu kekuasaan (power).
Apabila Politik berkaitan dengan
kekuasaan, perubahan politik tentu berkaitan erat dengan perubahan yang
dilakukan oleh pemegang kekuasaan pada suatu masyarakat atau komunitas.
Kembali lagi pada mata kuliah ini
Kebudayaan dan Perubahan Politik maka buku yang saya review, menurut pemahaman saya, adalah buku yang menunjukkan
perubahan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan simbol atau tanda apa yang
digunakan oleh masyarakat sebagai hasil dari proses belajar untuk
mempertahankan keberadaannya.
Melihat perubahan berarti ada suatu
proses dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dari satu masa ke masa yang
lain. Ada aspek historis yang harus dimunculkan. Di sini saya tidak akan
menilai positif atau negatifnya suatu perubahan atau sebuah kemajuan atau
sebuah kemunduran akan perubahan tersebut juga pada cepat atau lambatnya
perubahan tersebut. Pandangan akan baik atau buruknya suatu perubahan harus
dilandasi oleh fakta yang ada di masyarakat berdasarkan simbol – simbol atau
tanda – tanda yang digunakan oleh masyarakat dalam menyikapi perubahan
tersebut. sehingga nilai baik dan buruk atas suatu perubahan muncul dari sikap
masyarakat itu sendiri.
Di sini saya akan mereview buku tulisan Suhartono W. Pranoto
yang berjudul Jawa (Bandit-Bandit Pedesaan) yang merupakan studi historis tahun
1850 – 1942 yang dicetak oleh Ghra Ilmu dan dicetak pada tahun 2010. Studi
historis ini dilakukan di tiga daerah yaitu Keresidenan Banten dan Batavia,
Yogyakarta dan Surakarta serta Pasuruan dan Probolinggo.
PERUBAHAN KEBIJAKAN PEMEGANG KEKUASAAN
Dalam
melakukan studi historis dari tahun 1850 – 1942, Suhartono juga menilik ke
tahun – tahun sebelum tahun tersebut. Berikut ini adalah perubahan – perubahan
yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada saat mereka memegang
kekuasaan di Indonesia:
Tahun Langkah
– langkah yang diambil oleh pemerintah
1800 Eksploitasi
yang dilakukan pemerintah maupun swasta yang dipusatkan pada tanah dan tenaga
kerja dan mengganti tanaman tradisional ke tanaman komersil.
1800 – 1830 Pemerintah
menarik pajak dari petani
1830 – 1833 Sistem
tanam paksa diimplementasikan untuk mengeksploitasi tanah dan tenaga petani
1870 Sistem
tanam paksa dihapuskan
1870 – 1900 Sistem
liberal diberlakukan yang merupakan sistem eksploitasi lain
1900 – 1942 Sistem
Etis diberlakukan dimana eksploitasi agraris makin intensif dan petani
menderita kemiskinan dan kelaparan. Sistem yang diterapkan adalah sistem tanam
paksa.
Dari fokus
perubahan – perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda, Suhartono jelas
melihat dari perubahan yang menyentuh bidang ekonomi para petani. Diuraikan
lebih lanjut
oleh Suhartono bahwa dalam sistem tanam paksa ini frekuensi kerja
petani meningkat
sementara upah kerja yang menurun. Dalam sistem tanam paksa
ini, petani dipaksa untuk
menanam tanaman – tanaman komersil seperti indigo,
kopi, tebu, tembakau dan tanaman
perdagangan lainnya. Dampak dari dibukanya
perkebunan ini lembaga – lembaga tradisional
terdesak dan kehidupan sosial
ekonomi petani terancam. Ancaman ini menjadi kenyataan
dimana penderitaan
petani menjadi semakin parah dengan kepemilikan tanah yang di’rebut’
dan juga
tenaga kerja mereka. Keadaan ini tidak kea rah yang lebih baik dengan
terjadinya
Perang Dunia I pada tahun 1914 – 1918, Depresi Ekonomi pada tahun
1929. Perang Dunia II
pada tahun 1939 – 1945 bahkan memperburuk keadaan ekonomi
petani dengan terjadinya
fluktuasi ekonomi.
SIKAP MASYARAKAT PETANI TERHADAP PERUBAHAN
Seperti
pada judul buku ini, buku ini bicara mengenai perbanditan yang oleh Suhartono
dipandang sebagai salah satu respon petani yang diwujudkan dalam bentuk protes.
Lebih lanjut dituliskan oleh Suhartono bahwa perbanditan merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh sekelompok orang marginal dari masyarakat petani (2010: 5).
Suhartono
juga mengutip penjelasan David Crumney yang menyatakan bahwa pencurian adalah
kejahatan yang mengacu pada bentuk protes yang primitif (: 6). Isaacman dalam buku ini menjelaskan
bahwa protes, dalam berbagai bentuknya, bertujuan untuk mencoba memperbaharui
tertib sosial yang berlaku dan juga melarikan diri dari sistem kolonial. Perbanditan
itu sendiri dibedakan menjadi dua jenis yaitu yang semata – mata kriminal dan
venal. Perbanditan yang semata – mata kriminal bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, sedangkan perbanditan venal disamakan dengan legenda Robin
Hood dimana hasil perbanditan dibagikan kepada anggota masyarakat yang miskin.
Bentuk perbanditan yang terakhir disebut juga dengan istilah bandit sosial yang
dipandang sebagai hero, kampion,
orang yang mempunyai musuh sama dengan musuh petani. Mereka mengoreksi
ketidakadilan, mengawasi penekanan dan pengurasan, dan bahkan mempertahankan
kehidupan ideal yaitu emansipasi dan kemerdekaannya. Protes dari anggota
masyarakat petani ini, pada halaman 7, didasarkan pada ketidakpuasan petani
yang didukung oleh tindakan untuk mendapatkan hak – haknya.
PERBANDITAN
Selain
dua bentuk perbanditan berdasarkan tujuannya, perbanditan juga dibedakan
berdasarkan pada pola rekrutmen, taktik, dan tingkat kesadaran dibedakan
menjadi perlawanan dari hari ke hari, pengunduran, pengungsian dan
pemberontakan petani oleh Scott sebagaimana dituliskan Suhartono pada halaman
7. Lebih lanjut, pada halaman yang sama, dijelaskan bahwa protes petani yang
kemudian di buku ini disebut sebagai perbanditan sosial merupakan kegiatan
dengan kesadaran penuh dari pelakunya baik individual maupun kolektif dengan
organisasi tradisional, untuk mendapatkan hak – haknya kembali tanpa
konfrontasi langsung dengan pemerintah atau perkebunan dengan jaringan yang
telah sampai hingga tingkat regional.
Dari
hasil studi historis di enam tempat di tiga bagian pulau Jawa tersebut,
Suhartono menuliskan bahwa perbanditan yang banyak terjadi adalah kecu, rampok,
koyok dan sejenisnya. Tujuan dari studi historis Suhartono ini sendiri adalah
untuk mendeskripsikan perbanditan sosial di daerah – daerah tersebut dan untuk
mencari tahu penyebab tidak hilangnya perbanditan di pedesaan. Untuk
mengkerangkai studinya Suhartono menggunakan teori Hobsbawm yang menyatakan
bahwa perbanditan merupakan counter respon terhadap penguasa. Sartono dalam
buku ini dinyatakan merujuk pada teori Hobsbawm tersebut dan menambahkan bahwa
perbanditan merupakan gerakan kolektif yang didukung oleh nilai agama.
Dijelaskan lebih lanjut, kaitannya dengan pernyataan bahwa perbanditan
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompoh orang marginal dari
masyarakat petani, perbanditan berkembang setelah terjadi transisi dari agraris
ke kapitalisme agraris dan adanya konflik kelas yang kronis.
Perbanditan akan dibahas lebih
lanjut pada bab 4 buku ini.
PENDEKATAN DAN ORIENTASI TEORITIS
Suhartono dalam buku ini mengusulkan
digunakannya pendekatan sosio-antropologis untuk mengadakan pengamatan
perbanditan pedesaan ini dan sekaligus berpendapat bahwa untuk menghilangkan
perbanditan pemerintah seharusnya memandang perbanditan ini dari segi
sosio-ekonomi. Sedangkan hubungannya dengan kekuasaan Suhartono menegaskan
bahwa hakikat perbanditan ini adalah sebuah resistensi yang merupakan
manifestasi dari balance of power.
Suhartono juga menyarankan untuk melihat faktor sosio-ekologi lahirnya perbanditan.
Dalam melihat faktor
sosio-ekologi hal – hal berikut ini perlu dianalisa:
- Struktur masyarakat; di sini akan
tampak kelompok masyarakat yang dominan dan superior
- Golongan sosial
- Interrelasi
- Konflik dalam konteks sosial
politik
- Transformasi otoritas tradisional
ke rasional
Pada Bab II diketengahkan latar
belakang sosial ekonomi masyarakat di enam lokasi penelitiannya. Di bab ini
diketengahkan dilakukannya mapping masyarakat yang mencakup peta kependudukan
etnis yang mendiami daerah tertentu, sejarah daerah, keadaan dan sumber ekonomi
dimana di sini dipetakan daerah yang mengalami keterpurukan ekonomi yang
menimbulkan perbanditan, transportasi dan bentuk pemerintahan. Pada bab
ini juga diketengahkan sistem tanah apanage
atau tanah lungguh. Tanah apage ini dimiliki oleh raja dengan
dibantu oleh para lungguh yang
kemudian menyerahkan penggarapan kepada bekel
yang kemudian akan mengerahkan petani di desanya untuk menggarap tanah
tersebut. Pada sistem ini, petani sudah mendapatkan tekanan dari para bekel, lungguh dan raja dalam artian
hasil yang mereka dapatkan jauh lebih sedikit dari para bekel dan lungguh dan
ditambah dengan pembayaran pajak. Dengan diimplementasikannya sistem tanam
paksa, eksploitasi ini makin intensif.
Selain
sosial ekonomi, struktur sosial masyarakat juga diketengahkan di sini. Tujuan
pengetengahan struktur sosial masyarakat ini adalah untuk melihat dari golongan
mana dalam masyarakat pedesaan yang selalu dalam situasi konflik dan pada
bagian ini petani lah yang kembali terpetakan sebagai masyarakat yang selalu
dalam situasi konflik.
Hal ini
berulang dalam hal birokrasi tradisional sekali lagi petani menjadi objek
birokrat – birokrat tradisional dan objek yang mendapat tekanan ini kembali
berulang pada saat keadaan ekonomi agraris dikemukakan oleh Suhartono.
Pada bab
III, diulas lebih lanjut mengenai perluasan perkebunan yang menjadi variable
faktor penyebab perbanditan. Dengan perluasan perkebunan ini patron-client dimana patron, dalam hal
ini raja, membatasi tindakannya agar tidak berbuat sewenang – wenang digantikan
dengan bentuk patron-client yang
dinilai lebih berbuat sewenang – wenang kepada petani sebagai client. Perubahan pada patron-client ini kemudian diperparah
dengan pencaplokan tanah dan tenaga kerja petani. Pada sub bab III dengan judul
Kehidupan Subsisten, dipaparkan fakta – fakta yang menggambarkan ketertekanan
kehidupan petani pada masa tersebut. Pada bagian ini diketengahkan bagaimana
petani dikenakan layanan kerja yang disebut kompenian
yaitu kerja wajib yang dilakukan lima hari sekali dalam sebulan dan ditambah
tiga hari setiap bulannyademi pemenuhan kebutuhan dan penyelesaian kerja di
perkebunan maupun di rumah tuan tanah. Penarikan pajak juga memperberat
kehidupan petani dimana penarikan pajak tetap diberlakukan terlepas apakah
panen mereka gagal atau tidak. Pada bab III ini juga dipaparkan bagaimana
lembaga tradisional terdesak eksistensinya dengan masuknya perkebunan. Pada bagian akhir bab ini dikenalkan
istilah counter culture untuk kembali
mengangkat nilai tradisional. Ditegaskan pula pada bagian terakhir ini dimana
pada buku ini tidak dibahas gerakan individual dan kolektif tanpa di back up oleh ajaran keagamaan.
Pada bab
4 dibahas lebih lanjut mengenai perbanditan. Istilah perbanditan sendiri
dipaparkan oleh Suhartono muncul dari para penguasa yang menganggap kegiatan
ini bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan sekelompok orang yang
berkuasa. Dalam studi historis ini Suhartono menggunakan perbanditan pedesaan
yang mengandung pengertian perampokan yang terjadi di pedesaan. Pada bab ini
ditegaskan kembali oleh Suhartono bahwa perbanditan pedesaan merupakan
manifestasi protes sosial yang terjadi di tanah partikelir, tanah kerajaan dan
tanah gubernurmen maupun yang disewa (: 107). Terminologi seperti brandhal, durjana, dan lun merupakan
klasifikasi kegiatan kriminal yang semata – mata untuk memenuhi kebutuhan hidup
semata yang berbeda dengan perbanditan sosial.
Hubungan patron-client antara raja, lungguh dan bekel yang diangkat pada bab sebelumnya
diangkat kembali pada bab ini yang dijelaskan dengan istilah gusti-kawula yang pada satu sisi dinilai
sebagai sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara raja dan petani meskipun
keduanya memiliki budayanya masing – masing. Di sini disebutkan raja dengan
budaya kraton sedangkan petani atau
pedesaan dengan sifat budayanya yang populis dan demokratis. Pada bab 4 ini
nilai positif dan negatif diutarakan. Suatu fenomena dianggap positif apabila
segalanya berjalan sesuai dengan pranatan dan negatif apabila ada yang menolak
aturan yang ada atau kemudian yang disebut berada dalam alam peteng atau antiketertiban atau secret society. Masyarakat
yang tergolong dalam alam padhang
maupun alam peteng keduanya dipandang
sebagai organisasi masa yang memiliki struktur dan pemimpin. Fakta menarik yang
diungkapkan oleh Suhartono di sini adalah bahwa sebagian besar pemimpin gerakan
perbanditan, yang dikelompokkan dalam masyarakat dalam alam peteng, adalah termasuk elite pedesaan.
Pemimpin dalam gerakan ini dengan ritual – ritualnya dianggap memiliki kekuatan
tersendiri dan meletakkannya sebagai pribadi yang memiliki karisma tradisional
dan mendapatkan keloyalan dari pengikutnya. Dan tentu saja dalam memimpin
gerakan ini pemimpin memiliki ideologi untuk menuntun segala perbuatannya. Meskipun
latar belakang keagamaan menjadi orientasi suatu gerakan sekuler, perbanditan
dipandang oleh Suhartono semata sebagai bentuk resistensi petani yang menurut
saya semata resistensi atas kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah.
Pada bab
ini diketengahkan pemimpin – pemimpin perbanditan di enam daerah tersebut
beserta struktur organisasi mereka. Meski dipandang negative oleh para elit
penguasa, namun gerakan perbanditan sosial ini dilindungi oleh masyarakat dan
bahkan pemerintah desa sendiri tidak dapat mencari jalan keluar untuk mencegah
perbanditan ini karena seharusnya kegiatan ini mereka dukung. Berbagai cara
dilakukan oleh pemerintah , salah satunya dengan sistem ronda. Selain mereka
yang masuk dalam perbanditan, petani juga melakukan resistensi mereka dengan
melakukan pembakaran kebun tebu yang kasusnya semakin banyak pada tahun
1880-an.
Bab 5 merupakan bagian dimana
penjelasan lebih lanjut bahwa perbanditan merupakan manifestasi protes sosial
diuraikan lebih mendetail bagaimana sistem komersialisasi tanaman telah menekan
petani. Pada bab ini juga ditampilkan fenomena baru gerakan sosial atau
perjuangan Sarekat Islam yang juga berpihak pada petani. Pada sub bab ini
ditampilkan fakta – fakta atau kasus – kasus perbanditan pedesaan di enam
wilayah studi ini.
KOMENTAR
Meskipun
tidak dipaparkan secara lugas dan penegasan oleh Suhartono bahwa dia bukan
penganut Marxism pada salah satu perkuliahannya, saya memandang studi historis
ini berdasarkan pada teori Marx akan kondisi material masyarakat. Kondisi material yang dimaksud di sini
referred to the specific physical means
by which human beings provide for their own life needs sebagaimana
dituliskan oleh Jason Bradley de Fay dalam papernya
yang berjudul The Sociology of Social
Movements pada halaman 13. Pada halaman yang sama Fay menegaskan “The fact that we constantly produce leads
Marx to the conclusion that at some point in history humans reached a stage
where they produced more than they consumed. As Individuals began to accumulate
and stockpile surplus goods, or capital, the first signs of political struggle
also began to emerge”.
Analisis yang dilakukan oleh Suhartono
mengikuti dimensi yang disarankan oleh Henry A. Landsberger dalam bukunya Rural Protest: Peasant Movements and Social
Change pada halaman 10 dimana disebutkan “the key dimensions in the case of the ‘peasantry’, especially for
understanding their movements are economic and political ones”. Poin -
poin analisa Suhartono juga mengacu pada tulisan Landsberger ini pada halaman 23
– 28 dimana poin – poin analisanya adalah sebagai berikut:
a. Societal
changes preceeding the establishmen of a peasant movement
b. The
goals and ideologies of the movement
c. The
means and methods of the movement
d. The
mass base of the movement
e. Conditions
facilitating organizations
f. The
allies of peasant movement
g. Conditions
of success and failure
Fenomena perbanditan ini juga, menurut
saya, menjelaskan teori kepentingan dan teori ketegangan yang keduanya
dilakukan sekaligus oleh Geertz dalam bukunya Politik Kebudayaan pada halaman
12.
“Dalam
teori kepentingan, pernyataan – pernyataan ideologis dilihat dalam
latarbelakang sebuah perjuangan universal untuk memperoleh keuntungan dan dalam
teori ketegangan, dalam latarbelakang sebuah usaha terus – menerus untuk
memperbaiki ketidakseimbangan sosiopsikologis. Dalam yang satu, manusia
mengejar kekuasaan; dalam yang lain, mereka melarikan diri dari kecemasan”.
Teori kepentingan ini kemudian oleh
Geertz diketengahkan disempurnakan oleh tradisi Marxis yang menjadi standar
para intelektual untuk mengamati suatu fenomena yang dilandasi pada
terrenggutnya sumber utama pendapatan ekonomi mereka.
REFERENSI
Landsberger,
Henry A. Rural Protest: Peasant Movements
and Social Change. New York:
Barnes and Noble, 1973.
De Fay, Jason
Bradley. The Sociology of Social
Movements – A Field Examination paper.
California: Deparment of Sociology,
University of California.
Geertz,
Clifford. Politik Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
No comments:
Post a Comment