Dalam tulisan Lawrence A. Blum yang berjudul
Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunikasi Antar Ras: Tiga Nilai yang
Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, ada empat nilai pokok
bagi pendidikan untuk masyarakat multikultural yaitu antirasisme,
multikulturalisme, komunitas antar-ras dan penghargaan terhadap manusia sebagai
individu. Tidak disebutkan secara gambling oleh Blum apa itu arti masyarakat
multikultural namun dalam “konteks pendidikan
multikultural mensyaratkan sebuah masyarakat yang luas yang terdiri dari
beragam kebudayaan” (halaman 22).
Apakah masyarakat multikultural sama dengan masyarakat
pluralistik?
Blum menjelaskan demikian, “komunitas yang pluralistik, komunitas yang meliputi rasa keterikatan
dan hubungan yang berasal dari aktifitas, keadaan, tugas, lokasi bersama dan
sebagainya – dan terutama didasarkan pada pengalaman kemanusiaan bersama –
namun dengan mengakui dan menilai perbedaan – perbedaan budaya (dan jenis – jenis
perbedaan lainnya juga) (halaman 25)
Jelas berbeda antara masyarakat multikultural dan
masyarakat atau komunitas pluralistik. Dalam komunitas pluralistik meliputi
pengakuan dan penilaian akan perbedaan – perbedaan budaya namun dalam
masyarakat multikultural berkaitan erat dengan aspek multikulturalisme dan
subnilai nilai pendidikan multikulturalisme untuk, selain mengakui dan
memberikan penilaian, memahami, menghargai, menghormati, mencoba melihat nilai
– nilai yang diekspresikan oleh anggota – anggota kebudayaan tersebut melalui
kebudayaannya dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan yang berujung pada
pemeliharaan kebudayaan itu sendiri.
Aspek
Multikulturalisme:
“Meliputi
sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, dan sebuah
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Ia meliputi
sebuah penilaian terhadap kebudayaan – kebudayaan orang lain, bukan dalam arti
menyetujui seluruh aspek dari kebudayaan – kebudayaan tersebut, melainkan
mencoba melihat bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan nilai bagi
anggota – anggotanya sendiri”
(halaman 16)
Subnilai Nilai
Pendidikan Multikulturalisme:
(a)
Menegaskan identitas kultural seseorang; mempelajari
dan menilai warisan budaya seseorang
(b) Menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan
belajar tentang (dan dari) kebudayaan – kebudayaan selain kebudayaannya
(c) Menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan
itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok – kelompok budaya yang
berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai
dan dipelihara
(halaman 19)
Terus terang saya tidak puas dengan membaca tulisan
Blum ini sehingga saya mencari bahan bacaan lain yaitu buku berjudul Rethinking Multiculturalism tulisan
Bhikhu Parekh:
“Istilah
‘masyarakat multikultural’ dan ‘multikulturalisme’ pada umumnya dipergunakan
untuk merujuk pada satu masyarakat yang menunjuk ketiga keanekaragaman
seluruhnya serta keanekaragaman lainnya, satu yang menunjuk dua terakhir yang
lainnya atau mengacu pada yang ditandai hanya oleh jenis keanekaragaman yang
ketiga” (2008: 17). Ketiga keanekaragaman
tersebut adalah:
1. Meskipun para anggotanya memiliki satu budaya umum
yang luas, beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan praktek yang
berbeda berkenaan dengan wilayah kehidupan tertentu atau menempuh cara hidup
mereka sendiri yang relatif sangat berbeda
2. Beberapa anggota masyarakat sangat kritis terhadap
beberapa prinsip atau nilai – nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan
berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai
3. Sebagian masyarakat modern juga mencakup beberapa
komunitas yang sadar diri dan lebih kurang terorganisasi dengan baik yang
menjalankan dan hidup dengan sistem keyakinan dan praktek mereka yang berlainan
(halaman 16)
Dan diungkapkan lebih lanjut oleh Parekh bahwa “sebuah masyarakat yang multikultural,
selanjutnya, merupakan sebuah masyarakat yang meliputi dua atau lebih komunitas
kultural” (halaman 19)
Melihat
uraian Blum dan Parekh, saya memiliki pendapat bahwa Indonesia adalah sebuah
masyarakat multikultural dengan pemahaman bahwa Indonesia merupakan masyarakat
yang meliputi dua atau lebih komunitas kultural dan diperlukan upaya untuk
mengakui, memberikan penilaian, memahami, menghargai, menghormati, mencoba
melihat nilai – nilai yang diekspresikan oleh anggota – anggota kebudayaan
tersebut melalui kebudayaannya dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan
yang berujung pada pemeliharaan kebudayaan itu sendiri yang dapat dipelajari
melalui pendidikan multikulturalisme yang pada akhirnya akan memandang semua
kebudayaan di Indonesia adalah sederajat dengan nilai – nilainya tersendiri.
Sebelum menentukan
paradigma mana yang sangat strategis, sangat cocok dan sangat pas , untuk membangun masyarakat Indonesia yang
multikultural ijinkan saya
mendaftar poin – poin utama dalam pemahaman saya akan apa itu paradigma, masyarakat
multikultural, aspek multikulturalisme dan subnilai pendidikan
multikulturalisme.
-
Paradigma: kerangka
berpikir
-
Multikultur: dua atau
lebih kultur (kebudayaan)
-
Sub nilai pendidikan
multikulturalisme: (1) ekspresi nilai, (2) penegasan identitas kultural, (3) mempelajari
nilai warisan budaya, (4) menilai warisan budaya seseorang, (5) penghormatan
dan keinginan untuk mempelajari kebudayaan lain, (6) memandang positif
keberadaan kelompok – kelompok budaya untuk dipelihara
Banyak peristiwa yang
terjadi oleh karena adanya kultur yang beragam di Indonesia. Geertz menyatakan
adanya kerentanan sebuah negara karena rasa tidak suka yang serius akibat dari
ikatan – ikatan primordial. “ikatan yang
berasal dari “unsur – unsur bawaan” – atau lebih persis lagi, karena kebudayaan
tak bisa tidak mencakup soal – soal semacam itu, “unsur – unsur bawaan yang
diandaikan – dari kehidupan sosial: hubungan langsung dan terutama hubungan
kekerabatan, namun melampaui itu keadaan bawaan yang berasal dari keadaan
terlahir ke dalam sebuah komunitas religius tertentu, bertutur dengan sebuah
bahasa tertentu atau bahkan sebuah dialek tertentu dan mengikuti praktik –
praktik sosial tertentu” (halaman 79) “akan
tetapi apapun yang peristiwa yang terjadi, kekuatan – kekuatan penentu tak akan
seluruhnya bersifat sosiologis atau psikologis melainkan sebagian bersifat kultural
– yakni konseptual. Menempa sebuah kerangka-kerja teoretis yang memadai untuk
analisis proses – proses tri-dimensi itu adalah tugas studi ilmiah tentang ideologi
– suatu tugas yang memang baru saja mulai” (1992: 43).
Ada satu hal yang
dikemukakan oleh Geertz (1992: 134) adalah merumuskan kelompok – kelompok
primordial tradisional tersebut, menguraikannya secara khusus ke dalam unit –
unit yang lebih luas atau dengan kata lain “menggeneralisasikan
dan memperluas prinsip – prinsip kesukuan, rasial, linguistis, atau lain –
lainnya dari solidaritas primordial”. Hal ini dipandang Geertz sebagai
sistem yang akan membuat suatu kelompok atau seorang individu tetap memiliki
kekhasannya serta “mempertalikan
kesadaran itu dengan tatanan sipil yang maju”. Kesadaran itu sendiri mencakup eksistensi dan kepentingan
yang mengambil bentuk simbol – simbol biasa tentang kekhasan kelompok. Di lain
pihak, diungkapkan oleh Geertz pada halaman 141, “kepadatan dan keanekaragaman dari acuan simbolis telah membuat
kebudayaan Indonesia sebuah pusaran kata – kata dan gambaran – gambaran yang ke
dalamnya lebih daripada satu pengamat yang secara sembrono ditelan begitu
saja”. Sehingga sulit ditemukan kaitan antara yang disebut oleh Geertz
sebagai ketegangan budaya dengan peristiwa – peristiwa politis.
Di sini
Geertz berbicara mengenai simbol dan bahwa kata – kata dan gambaran – gambaran
di dalamnya ditelan begitu saja. Diperlukan adanya upaya untuk menterjemahkan
simbol – simbol tersebut dan menurut saya paradigma yang sangat pas, sangat
cocok dan sangat sesuai untuk Indonesia adalah paradigma Hermeneutik. Paradigma
ini menganalogikan kebudayaan seperti
sebuah bahasa sebagai sebuah sistem tanda (langue).
“Dalam mendiskusikan analisis struktural
bahasa, Ricoeur menegaskan kembali keharusan untuk mempertimbangkan bahasa
sebagai sebuah peristiwa (parole), yang ditambahkan kepada bahasa sebagai
sebuah sistem tanda (langue). Pada kasus pertama, bahasa biasanya diterima
sebagai ujaran atau diskursus, dibedakan dengan yang terakhir oleh sejumlah
sifat: disadari secara temporal, mengacu-kepada-diri-sendiri, terarah kepada
sesuatu, yakni mengacu kepada sebuah dunia di luarnya dan bertujuan meraih
sasaran (addressee) (Josef Bleicher, 2003: 348).
Konsep Riceour ini
menurut Bleicher mengikuti konsep Hermeneutika Dilthey dimana Hermeneutika
sebagai interpretasi atas “ekspresi – ekspresi kehidupan yang ditentukan secara
linguistik” atau bisa disebut juga memandang kebudayaan sebagai teks. Dan peran
antropolog di sini adalah untuk memaknai ekspresi – ekspresi kehidupan, yang
tertuang dalam tindakan – tindakan, perilaku – perilaku serta pernyataan –
pernyataan, “dalam rangka mengangkat
konteks sosial yang ada di dalamnya ia berakar”. Sangat jelas dalam
paradigma Hermeneutik adanya upaya untuk melihat ekspresi nilai yang menurut saya menuju pada
penegasan identitas kultural.
Proses berhermeneutika
diawali dengan pendekatan fenomenologis.
Antropologi yang fenomenologis mempelari
tentang kesadaran yang kolektif atau “yang
melibatkan banyak orang atau mencakup banyak orang” (kata pengantar Ahimsa-Putra dalam Musim Kawin di Musim
Kemarau halaman xx). Dalam
pendekatan fenomenologis, peneliti menggali pandangan – pandangan dan pendapat
– pendapat si tineliti dan pada akhirnya dihasilkanlah kategorisasi –
kategorisasi yang dihasilkan dari kategorisasi – kategorisasi, atau klasifikasi
– klasifikasi lokal. Kemudian setelah didapatkan kategorisasi – kategorisasi
tersebut kemudian ditafsirkan oleh peneliti menggunakan perangkat seperti
menggunakan teori hukum, seni, agama, politik dan lain sebagainya.
Sehingga apabila Indonesia memiliki
permasalahan dalam bidang politik misalnya, penelitian yang dilakukan saya
pikir haruslah bermula dari penelitian fenomenologi yang kemudian ditafsir
menggunakan teori politik. Hal tersebut
untuk melihat adanya keterkaitan antara kondisi politik dengan ketegangan
budaya seperti yang disampaikan Geertz.
No comments:
Post a Comment