A.
LATAR
BELAKANG
Sebuah
perubahan akan mempengaruhi perubahan dalam hal yang lainnya. Beberapa contoh
yang bisa saya sampaikan untuk mendukung pernyataan ini adalah munculnya
gerakan Samin sebagai bentuk resistensi terhadap kebijakan pemerintah Belanda,
munculnya gerakan dari golongan kaum petani dengan kegiatan perbanditan
sosialnya sebagai bentuk respon terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Belanda, dan
beberapa contoh lainnya yang dapat ditemui di beberapa buku mengenai perubahan
dan gerakan sosial yang sebagian besar bercerita mengenai gerakan rakyat
melawan elite yang dilatarbelakangi kebijakan ekonomi dan politik. Nampak bahwa
perubahan yang dilakukan dapat membawa perubahan yang lain. Dalam hal ini perubahan
dalam sistem mata pencaharian hidup dapat membawa perubahan dalam sistem
organisasi sosial. Soekanto dalam sebuah makalah di http://isbdti.blog.uns.ac.id/2009/11/09/makalah-perubahan-kebudayaan-karena-pengaruh-dari-luar/
menyatakan, “Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Perubahan
dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu
pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut
tidak mempengaruhi organisasi sosial masyarakatnya. Ruang lingkup
perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian
dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat
sulit untuk dipisahkan (Soekanto, 1990)”. Apabila Soekanto menyebutkan beberapa
bagian dari kebudayaan dalam penjelasannya, Koentjaraningrat menyebutkan bagian
kebudayan sebagai unsur-unsur kebudayaan sebagai berikut (2000: 203-204):
Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok
dari tiap kebudayaan di dunia adalah:
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistem mata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7.
Kesenian
Masing-masing
unsur kebudayaan itu sendiri memiliki tiga aspek, yaitu aspek ideational, behavioral, dan material
(Ahimsa-Putra, 2007) yang ketiga hal tersebut disebut sebagai wujud kebudayaan oleh
Koentjaraningrat (2000: 186-187).
Apabila perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan,
pertanyaan selanjutnya adalah apa yang dimaksud dengan perubahan sosial itu
sendiri? Perubahan sosial didefinisikan oleh Robert H. Lauer sebagai variasi
atau modifikasi dalam setiap aspek proses sosial, pola sosial, dan
bentuk-bentuk sosial, serta “setiap modifikasi pola antarhubungan yang mapan
dan standar perilaku” (1993: 3).
Pada saat kita ingin mengkaji perubahan masyarakat Sunda,
maka kita akan dihadapkan dengan sedikitnya tulisan mengenai perubahan yang
terjadi pada kebudayaan suku ini yang beredar di masyarakat. Sebagian besar
tema-tema yang diangkat mengenai suku ini adalah mengenai resep masakan dan
juga tata cara pelaksanaan pernikahan adat Sunda. Selain dari dua hal tersebut,
sedikit tulisan saya temui mengenai kesenian Sunda dalam bentuk tari dan tari Sunda
ini lah yang akan coba saya kaji dalam paper
ini. Tari Sunda yang saya maksud di sini adalah tari topeng, Tayub dan Ronggeng.
B.
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang tertulis di atas serta keterbatasan pengetahuan, paper saya kali ini berusaha untuk menjawab
pertanyaan tersebut di bawah ini:
1. Ideologi
apakah yang termuat dalam tari topeng, tayub
dan ronggeng dan adakah perubahan
ideologi pada tari-tari tersebut pada saat ini?
2. Dari
lapisan sosial masyarakat mana kah tari-tari tersebut lebih diapresiasi?
C.
PEMBAHASAN
MASALAH
Dalam
mencoba menJawab permasalahan di atas, saya melakukan kajian pustaka yang tidak
begitu banyak. Sebelum memulai untuk menjawab pertanyaan pertama, ada baiknya
kita melihat dulu pengertian dari seni. Maruska Svasek, pada bukunya yang
berjudul Anthropology, Art and Cultural
Production mengetengahkan pandangan Boas akan seni yang kemudian dikaji
oleh ilmuwan lain menggunakan paradigma Fungsionalisme, Strukturalisme dan
Etnosains pada bab 3 yang berjudul From
Visual Communication to Object Agency. Boas, dengan teori relativisme
kebudayaannya (Cultural Relativism),
mendefinisikan seni sebagai bentuk aksi lintas budaya dengan ciri-ciri khusus,
dengan kekhasan budaya, makna atau fungsi yang bisa dikaji dan dibandingkan
secara obyektif (2007: 38).
Salah
satu pandangan yang berlandaskan pada paradigma Fungsionalisme adalah dimana
seni dipandang sebagai sistem komunikasi yang kemudian dikritisi oleh Geertz
yang memandang bahwa bahwa hubungan antara seni dan kehidupan kolektif tidak
semata-mata dipandang begitu saja karena seni memiliki nilai simbolis yang
kemudian dipandang oleh Clifford tidak dapat menkritisi relativisme kebudayaan
Boaz yang merupakan sumber dari pemikiran Fungsionalisme. Relativisme
kebudayaan Boaz, menurut Svasek hanya dapat dihindari dengan memiliki pemahaman
bahwa kebudayaan adalah suatu signifying
process and examining objects in transit and transition. Barthes, dalam bab
ini, adalah ilmuwan yang menyatakan bahwa signification
was a dynamic process, not a timeless system (2007: 43). Pada kesimpulannya Svasek menyatakan bahwa para ilmuwan pada
perkembangannya memusatkan perhatian mereka pada proses dan ideologi dari
produksi budaya.
Raymond
Firth juga menulis mengenai seni dalam sebuah artikelnya yang berjudul Art and
Anthropology dalam sebuah buku yang diedit oleh Jeremy Coote dan Anthony
Shelton yang berjudul Anthropology Art
and Aesthetics. Sebelum mengemukakan pandangannya akan seni, pertama-tama
dia mengetengahkan pandangan Robert Redfield yang melihat seni sebagai
perluasan dari pengalaman (enlargement of
experience) (1992: 15). Namun Firth memandang bahwa seni adalah “… part of the result of attributing
meaningful pattern to experience or imagined experience. It is primarily a
matter of perception of order in relations, accompanied by a feeling of
rightness in that order, not necessarily pleasurable or beautiful but
satisfying some inner recognition of values” (1992: 16). Dari pernyataan
Firth tersebut ada satu hal yang saya garisbawahi yaitu values atau nilai-nilai. Berdasarkan pada kesimpulan Svasek dan Firth, kesenian atau seni memiliki
ideologi atau nilai-nilainya tersendiri dan adanya proses dalam kesenian itu
sendiri.
Dalam paper ini
saya menggunakan definisi seni oleh Firth yang pada garis besarnya memandang
seni sebagai pemaknaan akan sesuatu yang berpola. Setelah mengetengahkan
definisi akan seni, saya akan melanjutkan pembahasan mengenai kata ‘tari’ itu
sendiri. Sebuah buku yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan, Kesenian dan
Pengetahuan bersama-sama dengan Java
“Instituut” yang berjudul Tari DJawa
dan Sunda, tari dimengerti sebagai cara menggerakkan badan yang selaras dengan
irama yang menjadi jelmaan hidup-jiwa mewujud menjadi hasil seni (1948: 61).
“Dari
purbakala sampai sekarang, dalam kalangan bangsa manapun djua di muka bumi ini
tjara menggerakkan badan jang selaras dengan irama itu memang ada. Itulah tari,
jang mendjadi djelmaan hidup-djiwa, mewudjud djadi hasil seni.”
Pangeran Jati Kusumah pada acara pembukaan Seren Taun di
Kuningan, Jawa Barat pada tahun 2007 memaknai tari sebagai menata diri pada
saat diminta untuk menari pada pembukaan acara tersebut.
Berdasarkan pada dua definisi saja akan tari tersebut,
saya memaknai tari sebagai gerakan berpola yang terkandung ideologi tertentu di
dalamnya.
Tari Sunda, Orang Sunda dan Ideologi Orang Sunda
Menurut buku Tari Djawa dan Sunda disebutkan bahwa orang Sunda
memiliki tari tersendiri yang disebut dengan igel yang terbagi menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah
tari halus yang disebut dengan ibing
dan kategori yang kedua adalah tari yang dilakukan sewajarnya saja yang disebut
dengan djoged (1948: 61). Berikut ini
merupakan paparan buku ini mengenai dua kategori tersebut (halaman 61).
Ibing tadi mempunjai beberapa jenis, diantaranja:
a. Ibing najub
b. Ibing wajang
atau topeng
c. Ibing mamarung
Djoged djuga matjam-matjam
djenisnya; misalnya tari menurut irama angklung
berlainan dengan tari menurut irama rebana;
berlainan pula dengan tari didalam pentjak.
Masing – masing mempunjai tjara bergerak dan aturan sendiri.
Dalam
buku ini pada halaman berikutnya dijelaskan bahwa pada tahun-tahun berikutnya, ibing dihidupkan kembali terutama ibing najub yang telah dicampur dengan jenis tari lainnya seperti tari
wayang, tari topeng dan juga tari pentjak.
Tari yang berasal dari Kuningan lah yang menurut buku ini banyak dipakai.
Kembali
pada pernyataan saya bahwa tari adalah gerakan berpola dengan ideologi
tertentu, pada bagian akhir halaman 62 pada buku ini disebutkan, “(Djika penari itu mengerti dan pandai
mempergunakannja, setiap gerak itu mengandung djiwa)”.
Berbicara
mengenai ideologi orang Sunda, ada dua pemikiran yang pertama adalah menurut R.
H. Hasan Mustapa dalam bukunya Adat Istiadat Orang Sunda dan yang kedua adalah
menurut Hasan Djafar dalam bukunya Kompleks Percandian Batujaya – Rekonstruksi
Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat.
Berikut
ini apa yang dituliskan oleh Mustapa yang telah diterjemahkan oleh Maryati
Sastrawijaya:
Semua orang yang
membaca buku ini tentu mengerti, bahwa bahasa Sunda asli di Priangan yang
mempercayai kepada hiang: agamanya
tentu menganut ke bangsa hiang: yang
membuat buku ini adalah orang Sunda yang berbahasa Sunda, bangsa Sunda,
agamanya menganut ke bangsa Yang. Karena itu di Sunda ada batas sembahiang,
Gusti Yang Agung.
Jaman dahulu kala sudah menanyakan kepada orang tua-orang tua Sunda: “Apa
sebabnya kita disebut bangsa Sunda, dan tanah perhiangan? Apakah diberi nama
oleh orang luar, atau menurut pengakuan orang di sini?”
Jawabnya: “Disebut Sunda oleh kita juga; kata Sunda berasal dari Sundek, bisa juga dari sundul, atau suda, semuanya ada artinya”.
Disebut sundek: karena negaranya
dekat-dekat, dan tidak begitu lebar-lebar, dari sebelah selatan tepi laut;
sebelah utara Kerawang, Jakarta: sebelah barat Banten, Ujungkulon; sebelah
timur KaJawan; jadi dikelilingi oleh tanah PaSundan. Menyebut jauh kepada yang
dianggapnya paling jauh, ada nama tanpa rupa. Kalau menjampi untuk menolak
celaka. “jauhlah jauh ke sana ke Madiun, ke seberang ke Palembang, ke Ujungkulon”.
Tidak mengetahui jauh dekatnya.
Pengetahuannya sundek tidak
mempunyai fikiran panjang dalam peribahasanya jadi manusia the kudu tungkul ka jukut tanggah ka sadapan, artinya
harus berdiri di atas jalan yang sungguh-sungguh, berbakti kepada siapa yang
terasa melindungi kepada pribadinya.
(1985: 177)
Kata sundek, artinya cukup dengan
sedikit, cukup dengan hasil taninya, misalnya aksara satu agar bersatu
mencintai perabotnya.
……
Dan lagi disebut sundek, karena
suka membuang huruf h di depan atau
di tengah, misalnya nyaho; hanteu nyaho, dibuang
di depan menjadi teu nyaho, yang
lebih kasar lagi nyao, artinya tidak
tahu.
(1985: 178)
…..
Yang dimaksud dengan keSundaannya dan keSundaannya orang Sunda, yaitu
lembek hatinya, tidak pernah mempunyai pikiran yang jarang dialami, malam
menjadi terpuji, menak yang suka mengasih dan menyayang kepada rakyat kecil,
walaupun suka memarahi.
(1985: 181)
Dari penjelasan yang bermacam-macam dari Mustapa
tersebut, saya memahami bahwa orang Sunda memiliki gagasan adanya makhluk
adikodrati yang memberikan perlindungan kepada orang per orangan dan bahwa
orang Sunda harus berbakti kepada makhluk adikodrati yang kemudian disebut
dengan Gusti Yang Agung. Dalam penjelasan Mustapa ini diketahui juga bahwa
orang Sunda memiliki hati yang lembut dan tidak berprasangka sebelum mengalami
sendiri. Untuk kaum bangsawan yang terpuji adalah bangsawan yang mengasihi dan
menyayangi rakyatnya tanpa kehilangan ketegasannya.
Berdasarkan pada penilaian Raffles, yang akan saya
paparkan lebih lanjut, ada persamaan antara tari ronggeng dengan tarian di India pada bukunya History of Java dan Djafar yang menyebutkan adanya kontak budaya,
saya beranggapan bahwa tari ronggeng
memiliki ideologi yang sama dengan ideologi religi Buddha khusunya Buddha Mahayana
yang berkembang di Jawa Barat (2010: 121). Menurut sebuah sumber di http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080922073312AA3d9bZ, filosofi dari Buddha Mahayana adalah bahwa segala
sesuatunya adalah kosong. “Nagarjuna
mengembangkan filosofi “kekosongan” Mahayana dan membuktikan bahwa segala
sesuatunya adalah “Kosong” dalam buku kecil “Madhyamika-karika””.
Meskipun begitu, di bagian yang mendahului pernyataan Djafar
tersebut diungkapkan bahwa pada inskripsi Batujaya menekankan pada masalah karma, sedangkan inskripsi-inskripsi
votive tablet stupika menekankan pada masalah dharma (2010: 119). Namun pada intinya ajaran Buddha adalah
mengenai rantai sebab-akibat (2010: 118).
Penilaian dini saya berdasarkan sumber – sumber di atas
adalah bahwa orang Sunda dengan gagasannya akan Gusti Yang Agung haruslah
menata diri karena adanya pemahaman akan sebab-akibat.
Ronggeng Tari Kasar; Tayub Tari Halus
Raffles
dalam bukunya History of Java
menuliskan “Tarian gadis-gadis yang paling umum di negeri ini, yang tampaknya
hampir mirip dengan tarian gadis pada umumnya di India Barat disebut ronggeng, yang pada umumnya menggunakan
teknik yang mudah” (2008: 236). Dijelaskan lebih lanjut oleh Raffles bahwa
tarian ini mendapatkan penghargaan paling tinggi terutama pada orang-orang
kasar yang tinggal di perbukitan daerah Sunda. Selain menari gadis-gadis ronggeng ini juga menyanyi apabila musik
gamelan salendro atau pelog tidak disiapkan. Penilaian Raffles
terhadap kemiripan tarian gadis di Indonesia dan India Barat dapat dipahami
menilik pada pernyataan Hasan Djafar dalam bukunya Kompleks Percandian Batujaya
– Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat yang menyatakan
bahwa pada masa peralihan dari masa perundagian ke masa Hindu-Buddha, pada
wilayah Jawa Barat, khususnya daerah pantai utara Jawa Barat sudah terjadi
kontak budaya dengan luar khususnya budaya India melalui jaringan perdagangan
internasional (2010: 107). Masa Perundagian yang dimaksud oleh Djafar di sini
adalah masa hunian prasejarah yang wujud atau aspek kebudayaan yang ditemui
adalah artefak berupa gerabah dan logam.
Raffles
juga menuliskan bahwa pakaian yang dikenakan penari dalam pertujukan ronggeng ini bukanlah hal yang
diperhatikan karena hal yang lebih dipentingkan oleh penonton yang nantinya
ikut menari dengan penari adalah memilih penarinya. Untuk kalangan bangsawan,
menari bersama dengan penari ronggeng
merupakan satu kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam
menari. Lebih tepatnya Raffles menyatakan demikian, “Dalam acara ini, para bangsawan dari kelas tertinggi bersaing satu
sama lain dalam menggerakkan kakinya dengan indah, dalam rangka memamerkan
gerakan yang anggun, memperlihatkan kecakapan dengan gerakan yang
berbelit-belit atau dengan menunjukkan keindahan dengan pengaturan gerakan yang
sungguh-sungguh” (2008: 238). Ditambahkan oleh Raffles bahwa “Pertunjukkan ronggeng biasanya diwarnai
dengan aksi lucu atau lawakan. Meniru-niru adalah hiburan yang paling
disenangi, disamping menirukan gerakan dari para penari ronggeng dengan tingkah
laku yang menggelikan, yang kadang-kadang menimbulkan kejenakaan melawan semua
kelas dalam masyarakat, dan menunjukkan tingkatan humor yang rendah” (2008:
238).
Ronggeng
yang tidak disebut sebagai salah satu tari Sunda dalam buku Tari DJawa dan Sunda
disebut oleh Tati Narawati sebagai salah satu tari Sunda yang di Jawa Tengah
disebut dengan ledhek (2003: 141) dan ditambahkan lagi oleh Narawati
bahwa para menak atau para bangsawan
lebih tertarik kepada tayub
dibandingkan dengan ronggeng hal ini
tentu berlawanan dengan apa yang dipaparkan Raffles bahwa pada saat pementasan ronggeng, para bangsawan bersaing satu
sama lain dalam menunjukkan keahlian menarinya. Hal ini menurut saya berkaitan
dengan geografis penelitian Narawati yang lebih berbicara mengenai tayub di Cirebon yang notabene adalah
daerah pesisir sedangkan ronggeng
lebih diappresiasi di daerah pegunungan. Selain perbedaan geografis, perbedaan antara ronggeng dengan tayub adalah pada peminatnya itu sendiri. Seperti
diungkapkan oleh Raffles bahwa ronggeng
lebih dinikmati para orang – orang ‘kasar’, tayub
diwarnai oleh konsep budaya alus (:
156).
Tayub oleh Narawati disebut juga dengan ibing tayub atau apabila menurut buku Tari DJawa dan Sunda adalah ibing nayub yang dikategorikan sebagai
tari halus. Tidak banyak disebutkan mengenai ideologi tari ronggeng. Ronggeng lebih dipandang sebagai tari hiburan semata atau
dengan kata lain ditarikan sewajarnya saja yang kemudian dapat dikategorikan
sebagai djoged bukanlah ibing. Narawati dalam bukunya ini
menjelaskan bahwa tayub Cirebon dan
Priangan telah mendapatkan pengaruh budaya ‘priyayi’ dan karakterisasi tari Jawa.
Perubahan tari tayub Sunda ini lebih
kepada bahwa para bangsawan Jawa yang mengibing
telah mempengaruhi bangsawan Sunda untuk juga ikut mengibing. Selain pengaruh kebiasaan bangsawan Jawa yang ikut ngibing, kata tayub itu sendiri dikaji oleh Narawati berasal dari bahasa Jawa
yang berarti ‘tari hiburan pribadi’ yang dikhususkan untuk kaum pria (: 159).
Tayub dijelaskan pada halaman 143 oleh Narawati mengandung dua
fungsi yaitu sebagai sarana ritual pernikahan yang berkaitan dengan ‘kesuburan’
dan sebagai ‘hiburan pribadi’. Ronggeng sebagaimana
tayub juga sebagai ‘hiburan pribadi’
atau yang disebut oleh Narawati sebagai tari hiburan kaum pria (2003: 156).
Namun kata ronggeng itu sendiri tidak
hanya mengacu pada jenis tari namun juga merupakan kata yang digunakan untuk
menyebut penari tayub (: 160).
Menurut pemahaman saya pada tahun 1919 tidak ada perbedaan antara tayub dan ronggeng berdasarkan pada catatan yang diketengahkan oleh Narawati
pada halaman yang sama. Narawati
menuliskan bahwa perbedaan antara ronggeng
dengan tayub kemudian muncul karena
adanya kaidah moral dalam tayub yang
pada dasarnya mensyarakatkan bahwa menari itu harus memiliki patokan dan aturan
atau yang kemudian pada halaman 162 dijelaskan lebih lanjut oleh Narawati
dengan apa yang disebutnya Tatakrama Nayuban.
Ronggeng tidak banyak diulas oleh Narawati, oleh karena itu saya
akan melanjutkan dengan pemaparan Narawati mengenai tayub. Kaitannya dengan tayub
sebagai sarana ritual pernikahan yang berkaitan dengan ‘kesuburan’, dijelaskan
oleh Narawati bahwa orang Sunda merawa bahwa mereka harus berusaha tidak hanya
dengan teknologi ataupun sistem namun juga dengan kekuatan kasat mata atau dari
makhluk adikodrati.
Tari Topeng
Tari topeng, sebagaimana disebutkan oleh
Siwi Yunita Cahyaningrum dan Timbuktu Harthana dalam harian Kompas tertanggal
23 Oktober 2010, sesungguhnya berkembang dan bagian dari wilayah abu-abu,
pertemuan ritual kepercayaan dan seni tradisi. Lebih lanjut mereka menyatakan
bahwa pada saat diadakan acara Festival Topeng Nusantara pada tanggal 16
Oktober 2010, tari topeng lebih disuguhkan sebagai tari hiburan.
Aspek ritual kepercayaan dari semua jenis
tari topeng di nusantara dijelaskan pada paragraf lima yang menyatakan sebagai
berikut, “Menurut Wardiansyah, sesepuh suku Dayak Kenyah, para penari adalah
media perantara roh-roh nenek moyang. Mereka datang untuk memberikan nasihat
bertani kepada sang dukun dan mengusir hama pertanian” yang kemudian ditegaskan
pada paragraph tujuh dimana pada sajian tari topeng panji dulunya dimainkan oleh penari dengan posisi membelakangi penonton. Penari dalam panji saat itu adalah imam dan
penonton adalah makmum atau pengikut. Penari panji akan menghadap kotak topeng
yang dalam tarian adalah simbol alam semestinya. Dalam artikel ini juga
disebutkan bahwa Sunan Kalijaga memasukkan ajaran islam dalam setiap gerakan
yang ditampilkan dalam setiap gerak yang ditampilkan, tulis Cahyaningrum dan
Harthana mengutip penjelasan dari Nurdin M Noer seorang budayawan Cirebon.
Sejarah tari topeng dapat kita baca dari
buku Narawati yang menyebutkan:
(Dahulu kala, sekitar tahun
1875 dan 1900 topeng itu sangat disenangi … Topeng itu asalnya dari kreativitas
[orang] Jawa Tengah, seperti yang sudah diceritakan di atas: seperti wayang
wong [drama tari bertopeng dengan ceritera Mahabarata/Ramayana] hanya berbeda
pakaian dan lakonnya saja [Panji]. Masuknya ke Pasundan seperti wayang wong,
dari Cirebon maju ke [arah] barat berpencar ke [arah] timur, akhirnya menyebar
se Pasundan) (2003: 57).
Selain perbedaan pada pakaian dan lakon, tari topeng Cirebon
menggunakan gamelan yang berbeda dengan wayang wong Jawa Tengah dimana tari topeng Cirebon menggunakan selendro
dan bukannya laras pelog (2003: 61).
Pada tahun 1915 tari
topeng ini mengalami perubahan pada isi ceritanya. Pada tahun-tahun sebelumnya
cerita Panji diketengahkan dari awal hingga akhir, kemudian berubah menjadi
hanya beberapa episode saja dan yang kemudian hanya menampilkan bagian
kejenakaannya saja (2003: 61).
Narawati melanjutkan pada halaman berikutnya dengan
memaparkan bahwa tari topeng dilakukan oleh dalang wayang wong yang mulai kehilangan pesanan untuk tampil. Sehingga pada masa
itu penari topeng adalah kebanyakan laki-laki yang juga merupakan dalang wayang
wong. Beberapa penari topeng wanita adalah Suji (alm), Sawitri (alm),
Dewi (alm), Rasinah dan diantara penari-penari perempuan tersebut disebutkan
nama Keni Arja yang dalam halaman pertama Kompas tersebut di atas diambil
gambarnya pada saat Arja sedang berlatih di sanggarnya. Tari topeng tidak
termasuk dalam salah satu tarian yang dikemukakan oleh Raffles pada tulisannya History of Java yang diterbitkan pada
tahun 1817 namun pada tahun 1896 muncul tulisan oleh L. Serrurier dalam bukunya
De Wajang Poerwa: Eene Ethnologische
Studie sebagaimana dituliskan oleh Narawati. Serruier menyebutkan bahwa
pertunjukan tari topeng ini tidak diselenggarakan di tempat-tempat yang
permanen namun merupakan pertunjukkan keliling dan hal tersebut juga
dikemukakan oleh G.A.J. Hazeu dalam disertasinya Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Toneel (Narawati, 2003:
63). Tari topeng sendiri ada dua yaitu tari topeng babakan yang menampilkan cerita babak demi babak dan yang terakhir
adalah topeng dalang yang menampilkan
cerita drama tari yang utuh.
Narawati menambahkan sebuah fakta akan siapa yang
menciptakan tari topeng dimana sebagian masyarakat percaya bahwa tari tersebut
diciptakan oleh Sunan Kalijaga, namun ada beberapa anggota masyarakat yang
yakin bahwa tari topeng tersebut diciptakan oleh putra Sunan Kalijaga yang
bernama Sunan Panggung. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tari topeng
tersebut diciptakan oleh wali sehingga beberapa mantra yang didaraskan oleh
penari sebelum mereka menari merupakan sebuah doa. Meskipun mantra tersebut
berisi permohonan kepada makhluk adikodrati agar penonton dapat menikmati
tarian dan juga permohonan agar lawan jenis terpikat kepada si penari. Hal
tersebut dibuktikan oleh Narawati dengan memberikan fakta adanya dalang yang
memiliki tujuh istri (2003: 65).
Babad
Cirebon, menurut Narawati,
menyebutkan bahwa pertunjukkan topeng oleh Sunan Kalijaga memiliki fungsi untuk
mengumpulkan masyarakat untuk mendapatkan ajaran agama Islam. Hal ini
dibuktikan oleh Narawati melalui penuturan lisan seorang dalang yang bernama
Surjana Arja.
Munculnya penari topeng wanita disinyalir dimulai pada
masa Sunan Gunungjati memegang pemerintahan Kerajaan Islam Cirebon dan berpikir
akan diruntuhkannya kerajaan Islamnya ini oleh kerajaan Pangeran Welang yang
pada saat itu belum memeluk agama Islam. Penari wanita diminta untuk
mempertunjukkan kebolehannya menari topeng di depan Pangeran Welang dan membuat
pangeran tersebut jatuh cinta. Persyaratan yang diajukan penari wanita itu agar
mau dinikahi adalah agar Pangeran Welang memeluk agama Islam dan menyerahkan
senjata pusakanya dan dituruti oleh pangeran tersebut.
Sebagaimana tayub
dan ronggeng yang dipertunjukkan
untuk memohon kesuburan tanah, tari topeng juga memiliki fungsi yang sama dan
ditampilkan oleh dalang wanita.
Perubahan pada penari, juga terdapat pada busana yang
dikenakan oleh penari. Ada beberapa aturan dalam macam-macam busana yang
dikenakan penari, seperti misalnya sobrah.
Perbedaan sobrah pada satu karakter
dengan karakter yang lainnya dalam tari tidak lagi diperhatikan. Perbedaan
warna baju pada satu karakter dengan karakter yang lain juga tidak lagi
diperhatikan, dimana sekarang mereka mengenakan satu warna saja yaitu hitam
untuk seluruh karakter. Perbedaan pada busana untuk tari topeng ini lebih
dipengaruhi oleh budaya bangsawan yang ingin tampil berbeda dengan rakyat
sementara perubahan yang terjadi sekarang adalah lebih sederhanannya cerita dan
busana yang dianggap penyederhanaan ini merupakan budaya rakyat biasa.
D.
KESIMPULAN
Saya
akan coba meringkas kemudian menyimpulkan apa yang telah saya kemukakan di atas
sebagai berikut:
Asal dari tari Sunda sendiri mengalami perubahan wacana.
Raffles berpikir bahwa ada persamaan tari di Indi Barat dengan tari di Jawa
yang diperkuat oleh Djafar dengan penelitiannya pada candi Batujaya bahwa telah
terjadi kontak dengan budaya India pada masa perundagian. Narawati menilai
bahwa tari-tari Sunda merupakan hasil kontak budaya dengan Jawa Tengah dan
diyakini tari-tari Sunda tersebut merupakan hasil kreatifitas orang Jawa
Tengah. Namun asal dari tari ini bukanlah apa yang saya garisbawahi pada paper ini. Tari Sunda terbagi menjadi
dua yaitu tari halus, yang di dalamnya adalah ibing nayub, ibing wayang atau topeng dan ibing mamarung, dan tari
biasa atau yang di sini akan saya sebut sebagai tari ‘kasar’ yang disebut
dengan joged. Ideologi dari tari halus
adalah adanya kepercayaan akan adanya kekuatan yang menguasai alam, atau yang
di sini saya sebut sebagai makhluk adikodrati dimana permohonan kepadanya
diperlukan karena dia yang menguasai segala yang ada di alam ini dan untuk
menunjukkan bakti kepadanya.
Tari halus atau ibing
pada saat ini kemudian dicampur dengan tari wayang, tari topeng dan tari
pencak. Tayub merupakan jenis tari
halus pada masa awal digunakan oleh para bangsawan untuk menunjukkan kemampuan
tarinya yang lebih daripada rakyat biasa dan juga berfungsi sebagai hiburan
pribadi. Tayub ini menurut saya
kemudian berubah menjadi tari ‘kasar’ yang disebut dengan ronggeng yang semata-mata sebagai hiburan pribadi atau hiburan
khusus bagi kaum pria.
Tari topeng juga memiliki fungsi sebagai tari ritual dan
juga hiburan pribadi. Tari topeng juga berfungsi untuk melakukan permohonan
pada makhluk adikodrati. Pada perjalanannya tari topeng ini digunakan untuk
melakukan penyebaran agama Islam dengan cara menundukkan kerajaan yang
pemimpinnya belum memeluk agama Islam. Saat ini, tari topeng dinilai berada di
tengah-tengah atau di wilayah abu-abu yaitu wilayah antara ritual dan hiburan. Tari
topeng sebagai acara ritual merupakan penciptaan oleh para bangsawan dan juga
kaum ulama dengan keunggulannya dalam beranekaragamnya warna busana untuk
masing-masing karakter dan juga cerita. Pada saat ini telah terjadi
penyederhanaan pada cerita dan busana yang dianggap sebagai budaya rakyat
biasa.
Ringkasan tersebut membawa saya pada kesimpulan bahwa
budaya bangsawan pada tari tayub dan
topeng telah mulai hilang dan dihilangkan dengan budaya rakyat yang lebih
sederhana tanpa muatan ideologi. Tari-tari tersebut juga tidak lagi diapresiasi
oleh kaum bangsawan, namun lebih diapresiasi oleh rakyat biasa dengan budaya ‘kasar’nya.
E.
DAFTAR
PUSTAKA
Website
Buku
Koentjaraningrat.
Pengantar Ilmu Antropologi. PT
Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. Peran dan Fungsi Nilai Budaya dalam Kehidupan Manusia. Makalah
Dialog Budaya, Yogyakarta, Desember 2007.
Lauer, Robert H. Perspektif tentang Perubahan Sosial. PT
Rineka Cipta, Jakarta, 1993.
Svasek, Maruska. Anthropology, Art and Cultural Production. Pluto
Press, London, 2007.
Coote, Jeremy and Shelton,
Anthony. Anthropology Art and Aesthetics.
Clarendon Press, Oxford, 1992.
Departemen Pendidikan, Kesenian dan Pengetahuan
bersama-sama dengan “Java Instituut”. Tari
Djawa dan Sunda. Kolff N.V., Djakarta, 1949.
Mustapa, R.H. Hasan. Adat
Istiadat Orang Sunda. Penerbit Alumni, Bandung, 1985.
Cahyaningrum, Siwi Yunita dan Harthana, Timbuktu. Topeng Nusantara, Pergulatan dengan Roda
Waktu. Kompas, Jakarta, 23 Oktober 2010.
Raffles,
Thomas Stamford. The History of Java. Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2008.
Djafar, Hasan. Kompleks
Percandian Batujaya – Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah
Pantai Utara Jawa
Barat. Penerbit Kiblat Buku Utama, Ecole francaise
d’Extreme-Orient, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
KITLV-Jakarta, Bandung, 2010.